REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengungkapkan bahwa keberadaan Surat Keputusan (SK) penonaktifan mengganggu proses penanganan perkara di lembaga antirasuah. SK tersebut diberikan kepada 75 pegawai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Dengan diadakannya SK pimpinan KPK maka akan terlunta-lunta pekerjaan dan membuat kami tidak bisa melakukan tugas," kata Novel Baswedan di Jakarta, Senin (24/5).
Dia mengatakan, SK tersebut mengganggu kepentingan masyarakat terkait upaya pemberantasan korupsi di nusantara. Dia mengatakan, puluhan pegawai KPK tersebut telah diperlakukan semena-mena dengan adanya SK pimpinan KPK tersebut.
Dia khawatir pola yang digunakan untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK yang berintegritas akan dilakukan di lembaga lainnya di Indonesia. Dia meminta semua pihak memandang serius perkara yang menimpa 75 pegawai tersebut sehingga dapat dilakukan pengusutan sebagaimana mestinya.
"Makanya pelaporan kami tidak semata-mata kepetingan kami pribadi tapi ini juga hal yang lebih besar. Kepentingan upaya pemberantasan korupsi, upaya tidak atau memaklumi terkait penyerangan terhadap HAM dan juga kepentingan terkait dengan kepentingan sebagai WNI," katanya.
TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan TMS berdasarkan tes tersebut.
KPK kemudian menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan. Surat tertanda Ketua KPK Firli Bahuri dan salinannya ditandatangani Plh Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin itu memerintahkan pegawai yang tidak lolos untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan langsung.