Ahad 23 May 2021 08:28 WIB

Ini Tiga Kelemahan Pelat Kendaraan Khusus Anggota Dewan

Peraturan Sekjen DPR RI No 4 /2021, melampaui kewenangan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto
Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti.
Foto: Republika/Febryan.A
Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Ray Rangkuti menyoroti soal kebijakan pelat khusus kendaraan anggota dewan. Dirinya menyebut, kebijakan tersebut memiliki tiga kelemahan.

"Kelemahan dasar aturan, etika, tujuan," kata Ray saat dikonfirmasi, Ahad (23/5).

Secara rinci, dia menjelaskan, bahwa aturan kebijakan tersebut didasarkan pada putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang dilanjuti oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR dan kemudian disampaikan ke kepolisian. Menurutnya, MKD tidak membuat aturan apapun yang dapat mengikat anggota DPR di luar tata cara bersidang di MKD.

Sekjen DPR juga tidak dapat membuat aturan yang mewajibkan anggota DPR melaksanakaannya kecuali atas dasar perintah UU atau keputusan anggota DPR sendiri. "Sekjen DPR hanya dapat membuat aturan sebagai penjabaran teknis pelaksanaan UU atau peraturan DPR. Jadi, peraturan Sekjen DPR RI No 4 /2021 melampaui kewenangan," jelasnya.

Kemudian Ray menilai bahwa Telegram Kapolri No. STR/164/III/YAN/1.2./2021 tertanggal 15 Maret 2021 yang salah satu acuannya adalah Peraturan Kapolri No 5/2021 hanya berhubungan dengan Penerbitan dan Penandaan SIM. Menurutnya tidak ditemukan adanya aturan yang memungkinkan tanda kendaraan khusus bagi anggota DPR.

Sebaliknya, dalam Peraturan Kapolri No 3/2021 dan Peraturan Kapolri No 5/2021 membatasi penggunaan tanda kendaraan khusus: presiden/wakil presiden, Pimpinan MPR/DPR, dan menteri negara. "Oleh karena itu, pembuatan tanda kenderaan khusus bagi anggota DPR ini memiliki dasar yang lemah," ucapnya.

Selain lemah dari sisi aturan, kebijakan tersebut juga memiliki kelemahan secara etika. Ray memandang, pelat khusus tersebut membuat identitas DPR dalam kelas sosial tersendiri. 

"Mereka seperti bukan wakil rakyat, yang karena itu penanda kenderaan merekapun harus berbeda dengan rakyat. Ini seperti kesombongan sosial. Di mana jabatan politik membuat mereka seperti bukan warga biasa," ungkapnya.

"Kesombongan sosial ini mestinya dikikis dari kesadaran etik anggota DPR. Bukan sebaliknya dipupuk dan difasilitasi," imbuhnya.

Terakhir, Ray melihat kebijakan tersebut juga memiliki kelemahan tujuan. Menurutnya alasan pelat khusus itu  dibuat agar anggota DPR dapat dipantau kendaraannya dinilai terlalu mengada-ada. Sebab, kepemilikan mobil pribadi anggota DPR misalnya dapat dilacak dengan mudah melalui LHKPN yang mereka serahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Dia juga menganggap, pelanggaran lalu lintas oleh anggota DPR bukanlah pelanggaran etika serius. Pelanggaran etika anggota DPR yang jauh lebih subtansial dan serius, seperti tindak pidana korupsi, tidak hadir dalam rapat-rapat di DPR, atau menggunakan fasilitas negara untuk melancarkan praktik ilegal seperti suap justru malah tidak mendapat perhatian serius MKD.

"Pelanggaran etik seperti ini jauh lebih Subtantif untuk dipantau oleh MKD," tuturnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement