REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memanggil kelima Pimpinan KPK atas dugaan pelanggaran etik dengan menonaktifkan 75 pegawai. Puluhan pegawai KPK diberikan pembebastugasan setelah hasil asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak memenuhi syarat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
"ICW mendesak agar Dewan Pengawas segera menjadwalkan pemanggilan seluruh Pimpinan KPK untuk menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran kode etik perihal tes wawasan kebangsaan," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (21/5) malam.
ICW memandang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPK dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 sudah sangat nyata. Menurut Kurnia, TWK yang diterbitkan melalui PerKom 1/2021 tidak berlandaskan undang-undang.
"TWK tidak ada cantolan hukum, baik UU 19/2019 maupun PP 41/2020. Jika tidak dilakukan, maka Dewan Pengawas tidak lagi menjadi instrumen pengawasan, justru berubah menjadi pelindung Pimpinan KPK," kata Kurnia.
Selain itu, lanjutnya, penjelasan Firli Bahuri ihwal polemik hasil TWK masih sangat ambigu. Semestinya, menindaklanjuti omongan Presiden Jokowi, Firli cs langsung mengeluarkan produk hukum untuk membatalkan penonaktifan 75 pegawai dan menegaskan seluruh pegawai KPK akan dilantik menjadi aparatur sipil negara (ASN).
"Maka dari itu, Presiden harus melakukan supervisi atas tindak lanjut polemik hasil TWK. Sebab, bukan tidak mungkin Pimpinan KPK akan mencari cara lain untuk tetap meneguhkan niatnya memberhentikan 75 pegawai KPK," kata Kurnia.
"Bahkan, akan sangat baik jika dilakukan investigasi khusus untuk melihat lebih lanjut apa sebenarnya yang terjadi di balik TWK ini," tambah Kurnia.
ICW menduga TWK ini bukan kerja individu, melainkan ada kelompok tertentu, baik di internal maupun eksternal KPK, yang sedari awal sudah merancang untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK.
"Keyakinan itu diperkuat dengan adanya penggalangan opini oleh para buzzer di media sosial dan sejumlah upaya peretasan tatkala masyarakat mengkritik hasil TWK," kata Kurnia.