Sabtu 17 Apr 2021 14:17 WIB

Pancasila Dihilangkan, PPP: Menteri Jangan Jadi Beban Jokowi

Arsul singgung hilangnya mata kuliah Pancasila dan bahasa Indonesia di PP 57/2021.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Wakil Ketua MPR Arsul Sani saat diwawancarai wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Ahad (23/2).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Wakil Ketua MPR Arsul Sani saat diwawancarai wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Ahad (23/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum DPP PPP Arsul Sani mengingatkan semua jajaran di Kabinet Indonesia Maju dan pemerintahan, jangan terus-menerus menciptakan beban politik dan ruang prasangka tidak baik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan menteri.

Arsul memandang perlu koordinasi yang baik dengan pembahasan antarkementerian dan lembaga (K/L) secara komprehensif atas hal sensitif atau yang menarik perhatian publik terkait dengan kebijakan yang bakal dikeluarkan. "Antarkementerian/lembaga saling melakukan proofreading atas rancangan kebijakan atau aturan yang akan dikeluarkan," kata Arsul di Jakarta, Sabtu (17/4).

Hal itu, kata dia, terkait dengan tidak tercantumnya mata kuliah Pancasila dan bahasa Indonesia dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021. Dalam Pasal 40 Ayat (3) PP tersebut tidak tercantum Pancasila sebagai mata pelajaran, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum tegas, hanya disebut bahasa saja.

Arsul menjelaskan, langkah koordinasi K/L bisa dimulai dalam rapat kabinet atau koordinasi di bawah kementerian koordinator. Sehingga sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan atau peraturan menjadi lebih baik.

Wakil ketua MPR itu menilai, masalah sinkronisasi dan harmonisasi timbul karena masih rendahnya koordinasi antarkementerian/lembaga pemerintahan terkait. "Meskipun ada kementerian koordinator (kemenko), level koordinasi yang tinggi seperti diharapkan belum tercipta," ujar Arsul.

Dia mencontohkan rendahnya level koordinasi seperti dalam kasus tidak tercantumnya Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran (kuliah) dalam Pasal 40 PP Nomor 57 Tahun 2021. Padahal, menurut dia, dalam Pasal 35 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pancasila dan Bahasa Indonesia masuk ke dalam kurikulum perguruan tinggi.

Jika ada koordinasi yang lebih baik antarkementerian dalam penyiapan PP 57 Tahun 2021, menurut Arsul, ketidaksinkronan PP tersebut dengan UU bisa dicegah. Koordinasi itu, lanjut dia, setidaknya antara Kemendikbud sebagai pemrakarsa, Kemenkumham sebagai koordinator legislasi pemerintah, dan Sekretariat Negara sebagai pintu terakhir sebelum sebuah aturan ditandatangani presiden.

"Maka, sisi pandang yang melihat tidak sinkron dan harmonisnya PP tersebut dengan UU-nya bisa dicegah," kata Arsul. Jika semuanya sinkron, kata Arsul, beban politik dan ruang prasangka buruk dari elemen masyarakatdengan sendirinya akan dapat diminimalisasi secara signifikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement