Senin 12 Apr 2021 00:24 WIB

Hakim MK: Amendemen Terbatas UUD 1945 tak Mungkin Dilakukan 

Jka satu pasal dalam UUD diubah maka pasal yang bersentuhan harus diubah.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ketua majelis hakim Konstitusi Saldi Isra (kanan)
Foto: Republika/Prayogi
Ketua majelis hakim Konstitusi Saldi Isra (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengatakan, amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak mungkin dilakukan. Alasannya, jika ada satu pasal yang diubah dalam konstitusi negara, yang juga bersentuhan dengan pasal lainnya, maka pasal-pasal tersebut harus ikut direvisi. 

"Sekarang malah ada wacana melakukan amendemen terbatas UUD 1945. Hal itu tidak mungkin dilakukan. Kalau orang bicara satu titik dalam konstitusi, maka dia akan bersentuhan dengan titik lain," ujar Saldi dikutip laman resmi MK, Ahad (11/4). 

Baca Juga

Saldi menjelaskan, pada awal reformasi pada 1998, mulai ada keinginan bangsa Indonesia mengamandemen UUD 1945. Berdasarkan risalah perubahan UUD 1945, ide awal melakukan amendemen itu sangat sederhana. 

Pengalaman di masa Orde Lama dan Orde Baru, masa jabatan presiden begitu panjang dan kekuasaannya sangat luas dan sangat dominan. Hal ini menjadi ide awal melakukan perubahan UUD 1945. 

"Ada pemikiran kekuasaan Presiden harus dibatasi. Ketika ada pemikiran untuk membatasi kekuasaan Presiden di salah satu sisi, ada keinginan memperkuat kewenangan DPR. Pembahasan itu terjadi dengan intens," kata Saldi. 

Baca juga : Niat Sholat Tarawih Ramadhan untuk Makmum

Namun, dalam konsep bernegara, apabila menyentuh satu titik dalam desain bernegara, tidak berhenti di titik itu saja. Misalnya, ketika ingin memperkuat kewenangan DPR, DPR akan bersentuhan dan berimplikasi terhadap lembaga-lembaga negara lainnya. 

Alhasil, kata Saldi, terjadi perubahan UUD 1945 yang jauh lebih komprehensif. Misalnya, salah satu isu terkait hubungan DPR dengan kekuasaan kehakiman, terutama dalam proses pengisian hakim agung. 

Ketika proses pengisian hakim agung diperbaiki, lalu tiba-tiba muncul isu baru, terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung (MA), sehingga harus mempersiapkan lembaga lain dan akhirnya muncul Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Misalnya kalau mau mengutak-atik DPR, maka akan ada hubungannya dengan MPR, DPD, MK, MA dan lainnya," ucap Saldi. 

Dalam konteks itu, lanjut Saldi, salah satu isu besarnya soal pembentukan undang-undang. Dengan demikian, para pengubah konstitusi membuat desain baru yang lebih ideal terkait pembentukan undang-undang. 

Namun dalam risalah perubahan UUD 1945 yang terkait dengan kewenangan pembentukan undang-undang, hampir tidak ada diskusi soal pembentukan undang-undang dalam sistem presidensial. Menurut Saldi, pengubah UUD 1945 sudah bersepakat mempertahankan sistem pemerintahan presidensial. 

Baca juga : Keutamaan Membagikan Takjil dan Makanan Buka Puasa Ramadhan

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement