REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Satgas Covid-19 mengatakan pemerintah memiliki alasan kuat melarang mudik Idul Fitri 1442 Hijriah. Sebab, berdasarkan pengalaman hari libur panjang sebelumnya termasuk Idul Fitri telah membuktikan meningkatkan kasus Covid-19 hingga lebih dari 100 persen.
"Pengalaman libur Idul Fitri tahun lalu terjadi kenaikan kasus dengan persentase 68 hingga 93 persen atau setara dengan terjadi 400 hingga hampir 600 kasus per hari hanya karena libur Idul Fitri, kemudian kasus usai libur kemerdekaan RI naik hingga 119 persen atau sekitar 1.100 kasus per hari. Pembelajarannya sudah cukup jelas," ujar Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito saat berbicara di konferensi virtual FMB9 Bertema Mudik Ditunda, Pandemi Mereda, Jumat (9/4).
Selama libur-libur panjang tersebut, dia melanjutkan, kasus Covid-19 melonjak naik, tidak ada yang turun. Oleh karena itu, Wiku meminta semua pihak harus belajar dari pengalaman ini. Ini termasuk berkaca dari pengalaman libur Idul Fitri tahun lalu.
"Ini yang harus kita maknain jangan sampai sudah setahun kita belajar namun masih mengulangi hal yang sama. Ini harganya nyawa dan inilah yang harus kita hindari," katanya.
Jika mudik Idul Fitri tahun ini dipaksakan, dia melanjutkan, tentu terjadi mobilitas orang-orang. Kemudian akibatnya pasti ditanggung oleh seluruh masyarakat yaitu potensi kenaikan penularan dan otomatis terjadi peningkatan kasus. Tak hanya berdampak pada bertambahnya kasus positif, Wiku juga mengingatkan nasib individu tertentu yang memiliki penyakit penyerta (komorbid), usia lanjut juga bisa terkena dampak.
"Ketika terjadi kenaikan kasus atau penularan itu yaitu nyawa, itu konsekuensi publik yang harus kita tanggung. Maka dari itu kami mengatakan jangan mudik," ujarnya.
Artinya, dia menegaskan, mudik dilarang dalam rangka mencegah terjadinya penularan Covid-19. Kemudian poin penting lainnya adalah sayang pada keluarga dan sayang pada sesama. Sebenarnya, dia melanjutkan, mudik adalah suatu tradisi yang baik yang dilakukan bangsa Indonesia.
Namun, selama pandemi virus ini, tradisi ini tidak pas dijalankan karena pasti melakukan mobilitas, pasti terjadi kerumunan, kedekatan antarkeluarga, kemudian ada risiko terjadi penularan. Maka dari itu, ia meminta masyarakat harus bisa memahaminya dan memodifikasi cara tradisi ini. Yaitu tetap menjalankan tradisi saat mudik namun tidak seperti cara yang dilakukan sebelumnya.
"Yaitu kita lebih dekat dengan keluarga dengan cara virtual, kemudian mungkin kalau kita ingin membawa oleh-oleh ke kampung halaman bisa dengan mengirimnya, apalagi ongkos kirim yang ditanggung oleh pemerintah. Dengan cara-cara seperti itu hubungan silaturahmi tetap terjaga, rasa rindu, kangen atau apapun bisa tetap dijalankan," katanya.