REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo resmi mencabut Surat Telegram Rahasia yang baru saja diterbitkan beberapa jam. Surat Telegram (ST) tersebut tentang larangan media menyiarkan arogansi atau kekerasaan anggota kepolisian. Pencabutan ini hanya berselang beberapa jam setelah telegram tersebut tersebar di publik.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar menyambut baik keputusan Kapolri tersebut. Menurut Rivanlee, bila tidak dicabut ST tersebut jelas akan berdampak pada kinerja media.
Terlebih, tingkat kepuasan publik atas Polri terus menurun dan cara mengembalikannya pun bukanlah dengan menutup akses dari media. Menurut Kontras pembenahan institusi secara struktural harus dilakukan sampai dengan ke tingkat lapangan.
Sehingga, penutupan akses media justru akan membuat publik semakin tidak puas mengingat polisi semakin sentralistik dalam kerja-kerjanya. Terlebih lagi, banyak catatan dari penanganan aksi massa yang brutal.
"Selama ini, publik mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka kekerasan dengan dalih 'ketegasan', " ujar Rivanlee kepada Republika.co.id, Selasa (6/4).
Sehingga, jukrah dari ST yang dicabut tersebut menurut Kontras akan sangat berbahaya bagi kebebasan pers, karena publik diminta percaya pada narasi tunggal negara sementara polisi minim evaluasi dan audit atas tindak tanduknya, baik untuk kegiatan luring maupun daring. Selain itu, ST adalah naskah dinas untuk lingkup Polri.
Diketahui dalam Surat Telegram yang dicabut itu terdapat 11 poin. Salah satu poinnya yakni melarang media menampilkan aksi arogansi atau kekerasan anggota Polri. Poin lainnya yakni seperti media tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan kejahatan seksual, menyamarkan gambar wajah korban kejahatan seksual, serta tidak menayangkan secara spesifik adegan bunuh diri.