REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surat wasiat kedua pelaku teror di Makassar dan Mabes Polri Jakarta dapat menunjukkan bahwa jihad bukanlah motif utama kedua pelaku. Grafolog Deborah Dewi menjelaskan, dalam ilmu grafologi banyak informasi yang bisa digali, terutama pemicu internal dari sisi analisis profil perilaku mengapa yang bersangkutan rela menjadi pelaku teror hingga kehilangan nyawanya sekaligus.
Kedua pelaku mengaku melakukan 'jihad', namun dari analisa grafologi alasan tersebut tidak kuat. "Meskipun secara verbal mereka memberikan alasan yang berbau spiritual, namun indikator grafis di dalam sampel tulisan tangan keduanya justru tidak menunjukkan dorongan spiritual yang kuat untuk mengeksekusi 'jihad'," kata Deborah Dewi, kepada Republika, Kamis (1/4).
Deborah memaparkan, meskipun gaya dan pola tulisan tangan keduanya berbeda, tetapi keduanya memiliki beberapa indikator yang secara grafis berbeda, namun intepretasinya sama. Menariknya, jika semua indikator grafis tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dianalisis secara komperehensif, maka akan terdapat perbedaan signifikan dari segi karakter pelaku maupun pemicu internal yang mendorong bersangkutan rela melakukan aksinya.
Analogi sederhananya adalah seperti asimilasi spektrum warna. Dalam warna ungu dan jingga terdapat satu unsur warna yang sama jika diurai yakni warna merah. Namun jika uraian tersebut digabung, maka akan menghasilkan dua warna yang jauh berbeda, yakni ungu (perpaduan warna merah dan biru) dan jingga (perpaduan warna merah dan kuning).
Menurut Deborah, satu lagi bukti kuat yang mendukung fakta bahwa semua orang, entah itu kaya, miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, laki-laki dan perempuan, tua atau muda semuanya bisa direkrut menjadi pelaku terorisme dengan pendekatan yang berbeda-beda. "Munculnya milenial bomber perempuan ini sebaiknya membuat kita semua menjadi lebih waspada dengan pergerakan radikalisme yang semakin nyata." Katanya.
Namun, menurut Deborah, ada kabar baiknya. Jika semua orang bisa diradikalisasi dengan pendekatan yang berbeda-beda, maka menilik sifat neuroplastisitas, semua orang juga harusnya bisa dideradikalisasi dengan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakter subyek yang sudah terpapar oleh radikalisme.
Neuroplastisitas adalah konsep neurosains yang merujuk kepada kemampuan otak dan sistem saraf semua spesies untuk berubah secara struktural dan fungsional sebagai akibat dari input lingkungan.
Lalu, apa yang bisa disimpulkan dari tulisan tangan kedua pelaku?
Dari analisis Deborah terhadap tulisan tangan kedua pelaku teror, terdapat beberapa pola indikator grafis yang berbeda. Pola tersebut namun mengacu pada satu benang merah interpretasi umum yang menjadi pemicu internal di antara karakter keduanya. Yaitu rasa cemas, tidak mampu, dan kurang percaya diri, yang membuat mereka merasa tidak aman (insecurity).
"Perasaan tidak aman ini wajar dimiliki oleh semua orang. Namun akan berkembang menjadi perilaku yang tidak wajar jika kompensasi untuk mendapatkan rasa aman diisi oleh hal-hal yang destruktif seperti layaknya yang dilakukan oleh para perekrut teroris menjanjikan hal-hal yang konstruktif namun semu," paparnya.
Kemudian ia menilai terdapat perbedaan jelas dari keduanya di balik alasan mereka melakukan 'jihad'. Untuk pelaku teror Mabes, dorongan yang utama adalah kemarahan atas status sosial (non material) yang melekat pada dirinya.
Sedangkan untuk pelaku teror bom Makassar, lanjut Deborah, dorongan yang utama adalah kemarahan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan di kehidupannya yang akan sangat berdampak pada sang ibu. "Kematangan emosional dan intelektual yang lemah di antara kedua pelaku menjadikan celah keberhasilan perekrutan eksekutor teroris semakin besar," kata Deborah.
Menurut Deborah, beberapa indikator grafis yang terdapat pada sampel tulisan tangan eksekutor teror bukan tidak mungkin terdapat pada diri kita sendiri atau keluarga kita suatu hari nanti. Yaitu ketika fase kehidupan sedang tidak baik-baik saja.
"Namun yang terpenting adalah kita menyadari bahwa rasa tidak aman, cemas, kurang percaya diri semuanya itu normal dan bisa diatasi dengan intervensi perilaku yang tepat," katanya.