Selasa 30 Mar 2021 17:57 WIB

Condet Bukan Teroris

Perbedaan mazhab dan politik tak pernah menjadi permasalahan besar di Condet

Petugas kepolisian berjaga di sebuah rumah sekaligus showroom mobil terduga teroris di kawasan Condet, Jakarta, Senin (29/3). Petugas kepolisan mengamanakan 2 orang dari lokasi tersebut.Prayogi/Republika.
Foto: Republika/Prayogi
Petugas kepolisian berjaga di sebuah rumah sekaligus showroom mobil terduga teroris di kawasan Condet, Jakarta, Senin (29/3). Petugas kepolisan mengamanakan 2 orang dari lokasi tersebut.Prayogi/Republika.

Oleh : Syalabi Ichsan*

REPUBLIKA.CO.ID, Condet menjadi viral saat penggerebekan terduga teroris tepat di sisi Jalan Raya Condet, RT 005/RW 03, Balekambang, Jakarta Timur. Kata Condet bahkan sempat nangkring di peringkat 1 Trending Topic di Twitter. 

Penangkapan seorang pria berinisial HH berlangsung pada pagi menjelang siang itu mengundang atensi masyarakat. Drama semakin klimaks saat polisi melakukan disposal — pemusnahan bahan peledak (handak) --  di tempat kejadian perkara (TKP) yang notabene showroom mobil itu. 

Diksi media yang menempelkan teroris dengan label Condet — Teroris Condet ikut menambah citra miring daerah tempat mengalirnya Ciliwung itu.  Para buzzer menggunjing Condet. Mereka mengungkit-ungkit daerah ini yang kental dengan nuansa oposisi.

Jika berkaca pada Pilkada DKI dan Pilpres lalu, daerah ini memang memenangkan Anies-Sandi ketimbang Ahok-Jarot dan lebih memilih Prabowo-Sandi daripada Jokowi-Ma’ruf. Citra oposisi ini kian menjadi saat baliho pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab terpasang di hampir setiap ruas jalan beberapa pekan sebelum HRS pulang dari Tanah Suci. Belum lagi, Persatuan Alumni (PA) 212 yang kerap mengelola aksi dengan massa  besar,  sempat menyewa salah satu ruko  sebagai markas komando di pinggir Jalan Raya Condet. 

Dari situ saja, Condet sudah disebut sebagai sarang kaum  fundamentalis yang antitoleran. Penggerebekan yang terjadi tepat di sisi jalan raya kian menjadi stempel jika ‘daerah hijau’ itu benar-benar radikal. 

Baca juga : Soal Bom Alihkan Isu, Ini Kata Direktur CIIA

 

Daerah toleran

Penggiringan opini tersebut sebenarnya patut dipertanyakan. Di Condet, toleransi bukan sekadar slogan. Bukti paling kasat mata adalah tumbuhnya banyak toko material di sepanjang jalan raya ini. Mayoritas toko tersebut dimiliki oleh pengusaha etnis Tianghoa. Meski ekspansi mereka yang bak menelan para pengusaha material lokal, eksistensi mereka tidak pernah dipermasalahkan warga. Tidak sedikit masjid dan mushala malah menjadi pelanggan mereka. Karena itu, akan sulit menemukan catatan kejahatan rasialisme di Condet hingga sekarang.

Hubungan antar umat Islam pun amat rukun dan damai. Secara de facto, mayoritas majelis taklim di Condet memang berpaham Ahlus Sunnah Wal Jamaah.  Mereka mengkaji kitab-kitab klasik dari para ulama Hadramaut. Ritual ala Aswaja seperti  membaca Qunut Subuh, tahlilan, mauludan, haul, hingga  Nisfu Sya’ban sudah menjadi tradisi yang notabene lebih dekat dengan Nahdliyin.  Namun demikian, para guru dan habaib di Condet tidak pernah melarang Muslim dari mazhab lain untuk menjalani ritual menurut pemahaman mazhab masing-masing. Dengan catatan, semua pihak saling menghormati.  

Ada beberapa mushala berpaham Salafi di pinggir jalan raya masih tetap dapat beraktivitas seperti biasa. Bahkan, para jawara Condet yang sehari-hari menjalankan maulud dan tahlil pernah mengunjungi  Ustaz Khalid Basalamah karena pengajian dai itu di Jawa Timur sempat dibubarkan pada 2018 lalu. Para jawara ini paham benar meski mazhab berbeda, tidak layak untuk mempersekusi seorang ulama. Mereka pun memberi dukungannya agar Ustaz Khalid bisa terus berdakwah di Condet dengan saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Para jawara ini patuh akan nasihat tuan gurunya untuk mengutamakan Ukhuwah Islamiyah ketimbang urusan khilafiyah. 

Permasalahan perbedaan mazhab dan politik tak pernah menjadi permasalahan besar di Condet. Meski demikian, ada satu karakter kuat yang sejak dulu ditanamkan ke jati diri warga asli Condet oleh para datuk dan tuan guru mereka. Kalau urusannya akidah, segalanya bisa nomor dua. Idiomnya diibaratkan, meski ada pemuda Condet sedang mabuk, dia akan maju paling depan saat agamanya dihina. Disinilah titik temunya saat banyak jawara di Condet ikut menginisiasi Aksi Bela Islam usai kasus penodaan agama dilakukan Basuki Tjahaja Purnama. Sikap ini pun merembet ke urusan politik hingga kini. Terlebih, banyak warga yang melihat standar ganda pemerintah saat menegakkan keadilan dalam kasus berdelik UU ITE contohnya. 

Baca juga : Pelaku Bom Bunuh Diri Makassar Tinggalkan Surat Wasiat

Meski demikian, sungguh musykil jika menganggap kekritisan masyarakat ini merupakan benih-benih terorisme. Karakter umat wasathan (tengahan) dan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang tampak dari materi-materi majelis taklim di berbagai masjid dan langgar sejak dulu menjauhkan warga Condet dari godaan ekstremisme.  Agaknya, lebih tepat jika kekritisan ini  dijawab pemerintah dengan sikap yang lebih adil dalam menerapkan hukum kepada rakyatnya.  

photo
Sejumlah remaja berlatih tari Betawi di Laboratorium Tari dan Karawitan Condet, Jakarta Timur, Jumat (26/6/2020). Pelatihan tari yang diadakan secara gratis tersebut diadakan untuk mengangkat kembali budaya Betawi di kalangan anak muda dan dengan penerapan protokol kesehatan. - (ANTARA/ Fakhri Hermanyah)

Potensi wisata

Ketimbang melekatkannya dengan terorisme,  Condet lebih menyenangkan untuk digali dari potensinya sebagai objek wisata. Dari segi lokasi, Condet merupakan daerah yang strategis. Kita hanya butuh 15 menit untuk pergi ke Bandara Halim Perdanakusumah, bahkan sepuluh menit dari jalan tol terdekat. Pusat berbelanjaan pun berada tepat di ujung jalan. 

photo
Petugas menunjukkan salak condet yang dipanen di Kebun Cagar Buah Condet (KCBC), Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (29/7/2019). - (Antara/Aditya Pradana Putra)

Jika dilihat dari kekayaan material, begitu banyak daftar yang harus dikunjungi ketika pergi ke Condet. Bagi para penyuka sejarah, mereka bisa menapaktilasi makam-makam tua yang tersebar dari Datuk Ibrahim, Pangeran Astawana, Makam Ki Tua, Makam Ki Meurah, hingga komplek pemakaman kramat habaib di Masjid Al Hawi. Makam-makam itu memiliki kisah masing-masing yang amat menarik. Belum lagi rumah-rumah berornamen betawi yang hingga kini dilestarikan.

Tidak hanya itu, Condet pun tergolong masih bisa dinikmati kehijauannya. mantan Gubernur DKI Jakarta almarhum Ali Sadikin mewariskan Condet sebagai cagar budaya dan daerah buah-buahan. Meski sudah tidak serimbun dulu, kita masih bisa menyaksikan kebun salak dan dukuh yang berusia ratusan tahun.  Tidak heran jika Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu, dalam kunjungannya ke Kebun Pemda di Jalan Kayu Manis, Balekambang, berencana untuk menjadikan lokasi tersebut tujuan wisata baru di Jakarta. 

Baca juga : Ini Peran 4 Terduga Teroris di Makassar yang Ditangkap

Panganan khas warga sekitar juga masih bisa kita nikmati. Kita bahkan masih bisa menyaksikan para pengrajin emping, dodol, kecap, memproduksi panganan tersebut dengan cara yang masih tradisional. Belum lagi harta karun budaya lainnya seperti silat dan musik marawis. Semua ini menjadi magnet bagi pengembangan Condet ke depan.

‘Alla kulli hal,  teroris sebagai kejahatan kemanusiaan harus dilokalisir dengan predikatnya tersebut. Sungguh rugi jika kata itu digiring untuk memojokkan salah satu entitas anak bangsa ini. Termasuk Condet. 

*) Penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement