REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Fauziah Mursid
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mempertanyakan upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan di Indonesia. Resep dengan berbagai program seperti deradikalisasi dan kontraradikalisasi dinilai gagal mencegah teror.
"Penindakan dan penegakan hukum tidak sekedar tanpa efek jera namun juga membuat publik harus terus bertanya, ada apa dengan upaya penanggulangan terorisme?" ujar Fahmi kepada Republika, Senin (29/3).
Fahmi mengatakan, kejadian bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), memperlihatkan jaringan kekerasan ekstrem masih terus beraksi dan terus menginspirasi dengan propaganda dan hasutannya. Negara masih belum mampu mencegah pelaku teror mengulangi perbuatannya.
"Terus menunjukkan bahwa walaupun penindakan dan penegakan hukum telah berjalan, kita masih gagal mencegah pelaku teror mengulangi perbuatannya, atau yang belum tertangkap mengendur semangatnya," kata dia.
Fahmi mengungkapkan, beragam kegiatan serta program bertajuk deradikalisasi dan kontraradikalisasi dijalankan. Dialog kebangsaan juga tak sedikit digelar sebagai resep pencegahan tindakan terorisme. Namun, rentetan serangan kekerasan ekstrem dari waktu ke waktu masih saja terjadi.
"Rentetan serangan kekerasan ekstrem dari waktu ke waktu menyodorkan bukti jika resep itu masih gagal mencegah teror terus menghantui," jelas dia.
Baca juga : MUI Meminta Bom Makassar Tidak Dikaitkan dengan Agama
Terkait kejadian di Makassar, dia menilai aparat keamanan belum tentu dapat dikatakan kebobolan. Menurut Fahmi, bagian yang tersulit dari deteksi ancaman teror adalah memastikan kapan dan di mana serangan akan dilakukan. Deteksi, kata dia, hanya bisa dilanjutkan dengan penyampaian peringatan dan peningkatan kewaspadaan.
"Di Makassar kemarin, kita lihat bahwa ledakan itu tidak terjadi di titik yang diinginkan karena pelaku gagal memasuki halaman gereja setelah dicegah oleh satpam setempat. Ini merupakan bentuk kewaspadaan yang patut diapresiasi," ungkap Fahmi.
Dia juga mengatakan, dari cepatnya identifikasi yang dilakukan menunjukkan setidaknya pihak kepolisian sudah memiliki data pelaku. Kemudian, upaya penindakan yang dilakukan belakangak ini di sejumlah daerah, termasuk di Makassar, ia nilai sudah tentu menghasilkan perkembangan-perkembangan data dan informasi.
"Namun di sisi lain, dapat dilihat juga, pelaku selama ini cukup mampu menyembunyikan diri sembari tetap melakukan aktivitas dan menyiapkan serangan secara senyap bersama kelompoknya. Bahkan jika ditarik dari sejak si pelaku diduga terlibat serangan di Jolo, Filipina, itu berarti sudah cukup lama," kata dia.
Fahmi beberapa kali menyatakan pendapatnya, penyebab tindakan terorisme bukanlah paham radikal, melainkan kekerasan ekstrem. Akar persoalan kekerasan ekstrem itu ialah hilangnya harapan dan bagaimana mereka kemudian mereka dipertemkan dengan harapan yang keliru nan palsu. Ditambah lagi dengan suplemen amarah, kebencian, dan dendam.
Ia menuturkan, harapan palsu itu menyodorkan obat yang memanipulasi dan menggiring orang-orang tersebut pada persepsi, mereka telah dijahati, diperlakukan tidak adil, dibodohi, bahkan dimiskinkan. Disebutkan pula, semua itu harus dibalas dan dilawan.
Bac juga : BREAKING NEWS: Pertamina's Balongan Refinery Exploded
"Propaganda dan hasutan ini yang kemudian membuat mereka, lantas merasa kehadirannya di dunia kembali bermakna. Nah pemerintah, agama, dan lingkungan mestinya bisa mengambil bagian dari upaya memastikan selalu ada harapan untuk masyarakat," kata dia.
Ia menjelaskan, setiap orang berpotensi memiliki deprivasi relatifnya sendiri. Deprivasi relatif merupakan keadaan psikologis di mana seseorang merasakan ketidakpuasan yang subjektif pada keadaan diri dan kelompoknya di bandingkan dengan kelompok lain.
"Ada yang mampu mengelolanya, tapi tidak sedikit pula yang gagal. Soal ekonomi msalnya, kaya dan mapan bukan berarti mereka pasti jadi medioker, pragmatis bahkan oportunis. Tapi miskin juga bukan selalu berarti inferior, kecewa, galau, pesimis," katanya.
Kemarin, Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkapkan, pelaku kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), sebelumnya sudah dalam pengejaran aparat keamanan. BIN juga menyebut indikasi adanya aksi terorisme di Makassar sudah termonitor sejak 2015 lalu.
"Pelaku kasus bom bunuh diri di gereja katedral hari ini sebelumnya memang dalam pengejaran aparat keamanan. Masih ada beberapa yang belum tertangkap dan terus dalam pengejaran," ungkap Deputi VII BIN, Wawan Purwanto, lewat pesan singkat, Ahad (28/3).
Wawan menerangkan, indikasi adanya aksi terorisme di Makassar sebenarnya sudah termonitor sejak 2015 lalu. Saat di mana terdapat ratusan jemaah dibaiat oleh ISIS di Sudiang, Sulsel. Kemudian pada awal Januari 2021 sebanyak sekitar 20 terduga teroris jaringan JAD ditangkap Polda Sulsel dan Densus 88.
"Mereka sudah melakukan persiapan fisik maupun kemampuan i'dad. Terduga teroris yang tertembak waktu itu diduga akan melakukan aksi bom bunuh diri," kata dia.
Dia kemudian mengungkapkan rasa prihatin dan menyayangkan kejadian bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulsel. Dia berharap kasus tersebut dapat dengan cepat teratasi hingga ke akar-akarnya. Dia pun mengimbau masyarakat agar tenang dan menyerahkan pengusurannya ke aparat penegak hukum.
"Penangkapan sejumlah pelaku teroris di Makassar yang sebagian merupakan anggota dan simpatisan dari eks ormas tertentu terus didalami," kata dia.
Upaya mencegah perkembangnya kelompok teroris atau paham radikal di Tanah Air juga menjadi perhatian Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Ia pun meminta agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut mengawal agar paham radikalisme tidak berkembang di Indonesia.
Wapres menilai, sebagai negara majemuk, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan pola pikir wasathy atau moderat dalam kaidah-kaidah MUI. "Sehingga ke depan, MUI dapat membantu pemerintah untuk melindungi negara, agama, dan umat," kata Ma'ruf saat memimpin Rapat Pimpinan Dewan Pertimbangan MUI yang selenggarakan di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (29/3).
Wapres mengatakan, pola pikir wasathy atau moderat juga merupakan upaya melawan paham radikal yang telah masuk ke Indonesia. Melalui pola pikir wasathy juga, ia berharap umat menjadi mandiri dan agama menjadi kuat dan tidak lemah.
Sehingga, kata Ma'ruf, dalam jangka panjang, apabila terjadi perilaku menyimpang di masyarakat, tidak langsung dialamatkan kepada suatu agama atau kepercayaan tertentu. “Kita melihat ada gejala-gejala sehingga berkembangnya radikalisme yang sering dialamatkan kepada umat. Ini kita harus menjaga betul bahwa setiap tindakan yang menyimpang daripada itu adalah hal-hal yang diluar dan itu tidak ada hubungannya dengan agama, dengan Islam,” ungkap Wapres.
Sejalan dengan Wapres, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Jimly Asshiddiqie meyakini pentingnya penerapan paham wasathy di Indonesia. Ia pun mengusulkan agar dilakukan pembahasan mengenai peran MUI dalam menjaga keharmonisan antar umat beragama dalam rapat pimpinan ini.
“Tentunya dengan hubungan umat beragama lain. Karena sedang dibutuhkan persepsi umat Islam dengan umat lain. Apalagi baru ada bom ini, bagaimana hubungan dengan umat lain. Ini penting dibicarakan,” kata Jimly.
Baca juga : Kapolri: Pelaku bom bunuh diri Makassar anggota JAD
Terkait posisi MUI sebagai intermediate structure, Jimly memandang posisi netral MUI diperlukan dalam menjadi jembatan antara pemerintah dengan organisasi massa dan umat antar agama. Untuk itu, diperlukan evaluasi kinerja MUI agar ke depan pelayanan yang diberikan dapat terus ditingkatkan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman yang terjadi.