Jumat 26 Mar 2021 20:46 WIB

Penyidikan RJ Lino Terkendala Penghitungan Kerugian

Penyidik KPK kesulitan temukan harga pembandingan dugaan korupsi QCC RJ Lino.

Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino (tengah) menaiki mobil tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3/2021). RJ Lino yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2015 itu ditahan penyidik KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino (tengah) menaiki mobil tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3/2021). RJ Lino yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2015 itu ditahan penyidik KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut lamanya penyidikan tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino (RJL) akibat terkendala perhitungan kerugian keuangan negara. KPK, Jumat (26/3), menahan RJ Lino setelah sebelumnya diumumkan dan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II pada Desember 2015.

"Ini memang perkara yang tiap RDP (Rapat Dengar Pendapat) selalu ditanyakan oleh teman-teman di Komisi III. Selalu kami sampaikan bahwa kendalanya memang dari perhitungan kerugian negara di mana BPK itu meminta agar ada dokumen atau harga pembanding terhadap alat tersebut dan itu sudah kami upayakan baik melalui Kedutaan China," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Baca Juga

Ia pun mengungkapkan bahwa inspektorat dari China pernah menyambangi KPK dan pada saat itu juga disampaikan bahwa KPK membutuhkan harga QCC yang dijual oleh HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM). Bahkan, kata Alex, dua pimpinan KPK periode sebelumnya Agus Rahardjo dan Laode M Syarif sempat ke China.

"Jadi waktu itu ada inspektorat dari China ke KPK, itu juga sudah kami sampaikan kami membutuhkan berapa sih sesungguhnya harga QCC tersebut yang dijual oleh PT HDHM. Bahkan Tahun 2018, Pak Laode dan Pak Agus Rahardjo ke China dan dijanjikan bisa bertemu menteri atau jaksa agung tetapi pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan," ungkap Alex.

Di satu sisi, lanjut dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menuntut tetap ada dokumen atau data yang dibutuhkan dalam penghitungan kerugian negara. "Di sisi lain, penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC atau setidaknya harga pembanding, misalnya HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan negara," ujarnya.

KPK, kata Alex, tetap minta BPK menghitung kerugian negara dan hasilnya disampaikan bahwa BPK mendapatkan penghitungan kerugian negara dalam hal pemeliharaan QCC. "Sedangkan alatnya sendiri penghitungan kerugian negara, BPK tidak bisa melakukan penghitungan karena ketiadaan dokumen atau data pembanding," ungkap dia.

Ia pun menyatakan KPK menggunakan ahli dari ITB untuk menghitung Harga Pokok Produksi (HPP) dari QCC tersebut."Memang dalam menghitung kerugian dalam akuntansi itu ada yang disebut "histories cost". Itu biasanya didukung dengan data dan dokumen berapa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan alat tersebut, termasuk harga pembanding. Ada juga metode lain, yaitu menghitung "replacement cost". Kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan kalau alat itu diproduksi sendiri, kami menggunakan metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu seandainya dibuat, harga pokoknya berapa," tuturnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement