REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Volume limbah medis di Kota Solo, Jawa Tengah, naik sekitar 10 persen selama pandemi. Kenaikan ini seiring dengan peningkatan aktivitas fasilitas pelayanan kesehatan dalam menangani penyakit infeksius pada masa pandemi COVID-19.
"Kalau di hari normal di luar pandemi volume limbah medis B3 (bahan berbahaya dan beracun) sekitar enam sampai tujuh ton per hari. Selama pandemi ini naik 10 persen," kata Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta Herri Widianto.
Ia menambahkan, pada masa pandemi COVID-19 limbah medis paling banyak berupa bekas alat pelindung diri (APD). Herri menjelaskan di Kota Solo fasilitas pelayanan kesehatan mengelola sendiri limbah medisnya atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Fasilitas kesehatan di Kota Solo yang mengelola sendiri limbah medisnya adalah RSUD dr Moewardi yang sudah punya insinerator. Selain itu juga Rumah Sakit dr Oen Kandang Sapi Solo yang sudah memiliki autoklaf.
"Selain itu, seluruh fasilitas layanan kesehatan yang ada di Kota Surakarta ke pihak ketiga semua. Pihak ketiga yang beroperasi di Solo kan banyak, ada PT Arah yang punya insinerator di Polokarjo, Sukoharjo, PT Putra Restu Ibu Abadi di Mojokerto, dan PT Prasadana Pamunah Limbah Industri di Gunung Putri, Bogor," katanya.
Limbah medis dari fasilitas karantina pasien COVID-19, pengelolaannya juga dilakukan bekerja sama dengan pihak ketiga."Baik karantina mandiri di rumah maupun yang difasilitasi oleh pemerintah, limbah B3 medis atau limbah khusus berpotensi COVID-19 limbahnya menjadi tanggung jawab puskesmas di masing-masing wilayah (penanganannya)," kata dia.