Ahad 14 Mar 2021 06:30 WIB

Newstory: Adakah Hubungan China dengan Kudeta di Myanmar?

Militer Myanmar tak akan berani kudeta jika tidak ada dukungan dari negara kuat.

Petugas polisi anti huru hara bergerak untuk membubarkan pengunjuk rasa selama demonstrasi di Yangon, Myanmar, Ahad (7/3)..
Foto: AP
Petugas polisi anti huru hara bergerak untuk membubarkan pengunjuk rasa selama demonstrasi di Yangon, Myanmar, Ahad (7/3)..

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik di Myanmar belum juga mereda. Lebih dari 60 orang dilaporkan tewas menyusul bentrokan antara masssa antikudeta dengan aparat keamanan.

Sanksi yang dijatuhkan Barat terhadap petinggi junta Myanmar tak juga digubris. Sanksi itu seperti dianggap angin lalu oleh pemimpin militer Mynmar. Upaya mediasi yang coba digagas oleh ASEAN pun belum menemui hasil.

Di dalam negeri Myanmar, aksi pembangkangan yang dilakukan oleh gerakan sipil berlanjut. Pembangkangan melibatkan berbagai lini dari pegawai negeri sipil, buruh, hingga para dokter.

Aksi pembangkangan membuat pemerintahan dan sektor ekonomi lumpuh. Belum diketahui secara pasti bagaimana ujung dari perseteruan.

Wartawan senior Republika, Selamat Ginting memandang peran China sangat penting dalam konflik ini. Bagaimanapun, militer Myanmar tak akan berani melakukan tindakannya jika tidak ada dukungan dari negara kuat. Myanmar, juga telah menjadi ranah pertarungan pengaruh antara AS dan China di kawasan.

Di sisi lain, kata Ginting, militer memiliki sentimen negatif terhadap Suu Kyi. Militer tak ingin negara ini jatuh di tangan seseorang yang mempunyai suami orang asing.

Salah satu jalan tengah yang bisa dilakukan adalah Suu Kyi menyerahkan kekuasaannya. Begitu juga militer. Myanmar juga mesti mencari sosok sipil lainnya selain Suu Kyi yang bisa diterima oleh militer.

Simak selengkapnya Newstory: 'Adalah Hubungan China dengan Kudeta di Myanmar?', bersama Selamat Ginting dan Teguh Firmansyah di video di bawah ini:

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement