REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyikapi alasan pemerintah tak masukan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2021. Hal ini lantaran pemerintah masih terus menjaring masukan publik untuk kajian UU ITE, dan tengah melakukan sosialisasi RKUHP.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, menilai, langkah tersebut merupakan langkah mundur dalam semangat Presiden Jokowi dalam komitmen untuk merevisi UU ITE. "Secara konsep, Aliansi sepakat bahwa dalam konteks kodifikasi, beberapa tindak pidana yang sifatnya konvensional (cyber-enable crimes) dalam UU ITE memang harusnya cukup diatur dalam KUHP, tidak perlu diatur kembali dalam UU ITE," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Jumat (12/3).
Dia menjelaskan, ada dua catatan yang harus diperhatikan. Pertama, tidak ada kejelasan pembahasan RKUHP dan konsentrasi pembahasan bisa terpecah. Ia mengatakan, materi muatan RKUHP begitu luas, tidak hanya terkait dengan transaksi dan informasi elektronik.
"Soal materi terkait UU ITE hanya sebagian kecil bahkan sebelumnya tidak pernah terjangkau komprehensif dalam pembahasan RKUHP," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah masih punya pekerjaan rumah membuka pembahasan yang lebih inklusif dan partisipatif ke publik, yang menurut catatan Aliansi tidak kurang dari 24 isu yang masih harus dikaji ulang. Bahkan hingga saat ini, belum ada draft terbaru yang dapat diakses publik.
Catatan yang kedua, Erasmus menjelaskan, mengingat kegentingan revisi UU ITE, maka pembahasan revisi UU ITE dan RKUHP bisa dilakukan berbarengan. Hal tersebut pernah terjadi pada 2016 lalu.
"Pada saat itu, pemerintah dan DPR tengah melakukan revisi UU ITE, di saat yang bersamaan, pembahasan RKUHP juga tengah dilakukan. Pemerintah tidak mencabut muatan tindak pidana dalam UU ITE yang juga diatur dalam RKUHP dan memindahkannya ke RKUHP. UU ITE 2016 tetap disahkan dan RKUHP malahan kandas pada 2019 karena substansi yang masih bermasalah," terangnya.
Sebagai solusi terkait pembahasan yang bisa jadi dilakukan berbarengan, Aliansi merekomendasikan, di aturan peralihan RKUHP nanti, pemerintah dan DPR dapat mengatur mengenai ketentuan mencabut delik-delik yang ada dalam UU ITE pasca direvisi nanti dan memindahkannya ke dalam RKUHP atau KUHP baru.
"Hal ini adalah solusi yang sangat sederhana dan dapat dilakukan Pemerintah tanpa perlu mengorbankan urgensi Revisi UU ITE, mengingat korban UU ITE terus berjatuhan dan sudah ada janji politik dari Presiden Jokowi yang harus ditepati," ucap Erasmus.