REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom senior Indef Dradjad Wibowo mengingatkan jajaran menteri ekonomi dan keuangan, serta BKPM, agar tidak lagi memikirkan membuka modal baru untuk miras. Karena dari sisi ekonomi pun beban ekonomi konsumsi alkohol sangat besar sekali.
“Dari aspek apa pun, baik agama, sosial, kesehatan, bahkan ekonomi, tidak ada untungnya. Bahkan, dari sisi ekonomi pun beban ekonomi akibat miras sangat besar,” kata Dradjad, Rabu (3/3).
Dradjad menyambut baik langkah Presiden Jokowi yang mencabut sejumlah butir di Lampiran Perpres 10 Tahun 2021 terkait dengan investasi minuman keras (miras). “Terima kasih juga kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang telah berkoordinasi dengan umat Islam dan pihak-pihak lainnya, untuk meminta Presiden untuk mencabutnya,” kata Dradjad.
Demi tertib administrasi dan tata kelola yang baik, Dradjad berharap akan segera keluar perpres baru yang merevisi Perpres 10 Tahun 2021. Diharapkan sekretarian negara bisa segera menyiapkan perpres baru. “Selama belum ada perpres baru, maka sejumlah butir 31, 32, 33, 44, 45 dari Lampiran III Perpres 10 tahun 2021 yang dicabut, akan tetap berlaku. Masih sah sebagai dasar hukum,” papar Dradjad.
Pertimbangan lain, Dradjad menambahkan, berdasarkan UU Cipta Kerja, miras tidak masuk dalam daftar negatif inventasi (DNI). “Jangan ada kekosongan hukum karena UU di atasnya tidak memasukkan miras sebagai DNI,” kata Dradjad.
Dradjad menyarankan kepada pemerintah, khususnya para menteri dalam bidang ekonomi dan keuangan, termasuk BKPM untuk tidak lagi memikirkan membuka modal baru untuk miras. Karena dari sisi ekonomi, pun biaya ekonomi konsumsi alkohol besar sekali.
Kalau yang dijadikan alasan adalah substitusi impor miras, menurut Dradjad, impor miras juga kecil. Besarannya hanya sekira 40,44 juta dolar AS atau Rp 600 miliar pada 2018.
Di sisi lain, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia masih rendah. Per 2016 hanya sekitar 0,8 liter per kapita per tahun. “Jika investasi baru miras dibuka, tentu mereka akan berupaya meningkatkan konsumsi miras di Indonesia,” kata Dradjad.
Jika dibanding di Timor Leste, konsumsi miras sudah 2,1 liter per kapita per tahun. Dengan konsumsi sebesar itu, kata Dradjad, Timor Leste sudah mulai berusaha untuk menguranginya. Ini karena mereka melihat dampak sosial, kesehatan, dan sebagainya.
“Jangan konsumsi miras di Indonesia malah didorong meningkat. Seperti di Thailand sebesar 8,3 liter per kapita per tahun, atau AS sebesar 9,8 liter per kapita per tahun,” ungkap Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Jika konsumsi miras sudah setinggi itu, akan sangat banyak persoalan sosial, kesehatan, yang akan membuat beban ekonominya sangat besar bagi Indonesia.