Selasa 02 Mar 2021 13:53 WIB

Perpres Investasi Miras yang Akhirnya Dicabut

Pembangunan ekonomi tak boleh bertentangan dengan agama.

Presiden RI, Joko Widodo, mencabut Peraturan Presiden Nomor 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memuat kebijakan investasi industri minuman beralkohol atau miras.
Foto: BPMI
Presiden RI, Joko Widodo, mencabut Peraturan Presiden Nomor 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memuat kebijakan investasi industri minuman beralkohol atau miras.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati, Saputri Muhyiddin, Wahyu Suryana, Mabruroh, Antara

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mencabut Peraturan Presiden Nomor 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memuat kebijakan investasi industri minuman beralkohol atau miras. Menurut Presiden, pencabutan aturan ini pun diambil setelah menerima berbagai masukan dari para tokoh agama.

Baca Juga

"Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama lain serta juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," katanya,

“Saya sampaikan, saya putuskan, lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol, saya nyatakan dicabut,” kata Jokowi dalam pernyataan persnya melalui saluran Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (2/3).

Perpres tersebut terbit pada 2 Februari 2021 sebagai peraturan turunan UU Cipta Kerja. Perpres itu memang tidak mengatur khusus miras, tetapi soal penanaman modal.

Namun, disebutkan dalam beleid tersebut bahwa industri miras dilakukan di daerah tertentu di Indonesia, yakni Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua.

Lampiran III Perpres No 10/2021 menyebutkan investasi miras hanya diperbolehkan di Provinsi Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Tapi, penamanan modal untuk industri di luar daerah-daerah tersebut dapat dilakukan bila ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan usulan gubernur. Hal tersebut termuat dalam Lampiran III angka 31 dan angka 32 huruf a dan b.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, mengatakan, Muhammadiyah mendukung sepenuhnya pembangunan Indonesia dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lain. Tapi, ia menegaskan, semua pembangunan yang dilakukan tidak boleh bertentangan agama.

Ia mengingatkan, soal pembangunan ekonomi, Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi kemasyarakatan agama yang berdiri di garis depan dengan amal usahanya. Termasuk, amal-amal usaha ekonominya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

"Tapi, pembangunan ekonomi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa. tidak boleh berdampak buruk ke masa depan bangsa, terutama menyangkut moral generasi bangsa," kata Haedar, Selasa (2/3).

Haedar menekankan, seharusnya pembangunan yang dilakukan terintegrasi dengan nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa. Justru, itu yang menjadi tugas negara, termasuk pemerintah daerah, agar tidak gegabah mengatasnamakan pembangunan.

Sekali lagi, ia menegaskan, Muhammadiyah mendukung pembangunan ekonomi, investasi, dan segala usaha untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyat. Tapi, manakala ada hal-hal terkait agama, Muhammadiyah akan menyampaikan aspirasi yang sejalan pandangan agama.

"Bagi kami umat Islam, miras dalam berbagai bentuknya, seperti juga judi, merupakan sesuatu yang haram, haramnya mutlak, tidak bisa ditawar-menawar," ujar Haedar.

Meski begitu, ia mengaku memahami dan meyakini pemerintah akan menghargai eksistensi nilai-nilai agama yang ada di Indonesia. Haedar turut percaya pemerintah akan mampu memajukan bangsa dengan sumber daya alam yang kaya dan modal sosial yang luar biasa.

Untuk itu, langkah-langkah pragmatis yang memberi ruang ke hal-hal yang bertentangan agama tidak boleh dilakukan. Apalagi, setelah kebijakan dipaksakan akan menimbulkan kegaduhan yang baru, bahkan retaknya persatuan nasional, yang harganya terlalu mahal.

Ia berharap kita semua masyarakat Indonesia mampu mengawal pembangunan Indonesia agar tetap sejalan cita-cita pendiri bangsa, yang senantiasa menghargai nilai-nilai agama. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang bertentangan agama semestinya tidak dilakukan.

"Dengan jiwa kenegarawanan tinggi, insya Allah tidak menurunkan marwah pemerintah, DPR, dan yudikatif. Bangsa ini perlu belajar dari pengalaman masa lalu, kita bisa maju karena bersatu, menghargai nilai nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa," kata Haedar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement