Kamis 18 Feb 2021 18:14 WIB

Henri Subiakto Jelaskan Alasan UU ITE Direvisi pada 2016

'Sebelum revisi, ada 220 korban UU ITE dan paling fenomenal kasus Prita Mulyasari.'

Rep: Nawir Arsyad Akbar / Red: Ratna Puspita
Staf ahli Kominfo bidang hukum Henri Subiakto
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Staf ahli Kominfo bidang hukum Henri Subiakto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Henri Subiakto menjelaskan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) lahir pada 2008 dengan mengutamakan semangat demokrasi. Namun pada 2016, undang-undang tersebut direvisi karena sejumlah hal.

"Sebelum revisi ada 220 korban UU ITE dan yang paling fenomenal adalah kasus Prita Mulyasari," ujar Henri dalam sebuah diskusi daring, Kamis (18/2).

Baca Juga

Terdapat 92 persen dari 220 korban tersebut menerapkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pasal tersebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dam/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan data elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik. 

"71 persen diproses hingga pengadilan dan 29 persen tidak jelas keputusannya. Lalu, 13 persen yang diutus bersalah," ujar Henri.

Ia menjelaskan, sebelum direvisi terdapat persoalan implementasi dalam pelaksanaan UU ITE, khususnya dalam Pasal 27 ayat 3. Setelah direvisi, penjelasan penghinaan dan pencemaran nama baik mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) delik pencemaran nama baik/penistaan di Pasal 310 dan delik fitnah Pasal 311.

"Deliknya dari delik biasa menjadi delik aduan, artinya korban harus mengadu pada penegak hukum. Tanpa aduan, tidak bisa diproses," ujar Henri.

UU ITE, kata Henri, pada dasarnya melarang dua jenis perbuatan pidana. Pertama, larangan berbuat jahat dengan menggunakan informasi teknologi (IT), seperti perjudian, terorisme, penipuan kartu kredit, pornografi, pemerasan, dan pencemaran nama baik.

"Kedua, larangan berbuat jahat dengan sasaran IT, seperti peretasan, penyebaran kode jahat, robot Internet, pencurian identitas, dan lain-lain," ujar Henri. 

Diketahui, Presiden Joko Widodo membuka ruang bagi pemerintah duduk bersama DPR untuk merevisi UU ITE. Ia menilai ada pasal-pasal karet yang bisa ditafsirkan secara berbeda oleh setiap individu. 

Namun, Jokowi tetap memberi catatan bahwa revisi dilakukan dengan tetap menjaga tujuan awal penyusunan UU ITE, yakni menjaga ruang digital Indonesia agar tetap sehat, beretika, penuh sopan santun, serta produktif. "Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini. Karena di sinilah hulunya. Terutama, menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda. Yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement