Selasa 16 Feb 2021 23:04 WIB

RUU Perampasan Aset Dinilai Penting Pulihkan Kerugian Negara

RUU perampasan aset dan revisi UU Tipikor dinilai penting untuk menjerat koruptor.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ilham Tirta
Kurnia Ramadhana (kanan).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kurnia Ramadhana (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana dinilai penting untuk segera dibahas dan disahkan. Aturan itu sebagai salah satu cara memulihkan kerugian keuangan negara yang diakibatkan praktik korupsi.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester pertama tahun 2020 menyebut, total kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi mencapai Rp 39 triliun. Namun, vonis pengenaan uang pengganti hanya Rp 2,3 triliun.

"Data ini seharusnya semakin menggambarkan betapa pentingnya mempercepat pengesahan dan pengundangan RUU Perampasan Aset. Jadi ke depan, fokus utama bukan hanya sekadar memenjarakan, akan tetapi juga memulihkan kerugian keuangan negara," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana saat dikonfirmasi, Selasa (16/2).

Selain itu, lanjut Kurnia, dengan kehadiran regulasi perampasan aset, penegak hukum tak perlu khawatir jika pelaku korupsi melarikan diri. Hal ini lantaran melalui regulasi perampasan aset yang akan menjadi objek dari penanganan perkara adalah aset milik pelaku tersebut.

"Selain itu, sistem pembuktian di persidangan pun akan berbeda, karena mengakomodir sistem pembalikan beban pembuktian," ujar Kurnia.

ICW juga mendorong pemerintah dan DPR sebagai pembentuk Undang-undang memulai pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Regulasi tersebut penting untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana suap dengan cara transaksi tunai.

"Sebab, pola transaksi tunai tersebut menghambat penegak hukum untuk mendeteksi kejahatan itu," katanya.

Kurnia menambahkan, regulasi lainnya yang tak kalah penting untuk disahkan DPR adalah revisi UU Tindak Pidana Korupsi. Menurut ICW, revisi UU Tipikor penting dilakukan untuk menaikkan ancaman hukuman, baik fisik maupun denda serta mengakomodasi Konvensi Antikorupsi PBB atau United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Aturan itu mencangkup korupsi di sektor swasta, memperkaya diri sendiri secara tidak sah, dan perdagangan pengaruh.

"Regulasi-regulasi itu menjadi suplemen bagi pemberantasan korupsi," ujarnya.

Namun, tambah Kurnia, ICW  ragu pemerintah akan membenahi regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi, seperti RUU Perampasan Aset. Hal ini mengingat arah politik hukum pemerintahan saat ini justru melemahkan institusi pemberantasan korupsi. Hal itu salah satunya tercermin dengan revisi UU KPK.

"Selama ini arah politik hukum era Presiden Joko Widodo memang terfokus hanya untuk melemahkan institusi pemberantasan korupsi, salah satu wujud konkretnya adalah merevisi Undang-Undang KPK," tuturnya.

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah mulai disusun pada tahun 2008 dan telah selesai pembahasan antar kementerian pada November 2010, serta harmonisasi pada November 2010. Adapun K/L yang terlibat dalam penyusunan adalah Kemenkumham, PPATK, Kemenpan dan RB, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, Akademisi FH UI, POLRI, KPK, Kejaksaan Agung, dan Tenaga Ahli.

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement