REPUBLIKA.CO.ID, Sapto Andika Candra, Febrianto Adi Saputro, Dian Fath Risalah
Pemerintah membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk menetapkan sanksi administratif bagi masyarakat yang menolak divaksin Covid-19. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyebutkan bahwa kebijakan ini merupakan salah satu cara pemerintah mengantisipasi munculnya gerakan antivaksin di kemudian hari.
"Iya, bisa juga demikian (antisipasi antivaksin)," ujar Nadia saat dikonfirmasi, Senin (15/2).
Namun di luar hal tersebut, Nadia menyampaikan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) nomor 14 tahun 2021 tentang Pengadaan dan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 yang diteken Presiden Jokowi pada 9 Februari lalu, memberi ruang bagi pemerintah daerah dan lembaga untuk bertindak sesuai dengan UU nomor 4 tahun 1984 tentang wabah.
Selain itu, pengenaan sanksi dibuat untuk memastikan seluruh 181,5 juta penduduk Indonesia menjalani vaksinasi. Angka peserta vaksinasi Covid-19 ini perlu dicapai sebagai syarat mutlak terbentuknya kekebalan koelompok atau herd immunity terhadap penularan Covid-19.
"Penerapan sanksi dilakukan di level pelaksana, dalam hal ini pemerintah daerah melalui perda (peraturan daerah)," ujar Nadia.
Sementara itu Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menambahkan, penegakan hukum bagi masyarakat penolak vaksin sebenarnya hanya dilakukan dalam kondisi mendesak. Maksudnya, jika ada kejadian yang membuat pendekatan persuasif tak bisa diandalkan lagi seperti masifnya gerakan anti-vaksin di sebuah daerah.
"Jika pendekatan persuasif tak bisa diandalkan berpotensi memperlambat kesuksesan pencapaian herd immunity. Di masa pandemi ini, segala sesuatu berjalan dinamis sehingga setiap momennya berharga demi keselamatan bersama," ujar Wiku.
Ia juga berharap agar masyarakat dengan sendirinya muncul kesadaran untuk mendapat vaksin Covid-19 tanpa perlu ada paksaan. Namun dari sisi pemerintah, Wiku menilai, memang perlu ada upaya persuasif sekaligus promosi yang masif agar program vaksinasi Covid-19 diikuti seluruh masyarakat yang memenuhi kriteria.
"Sanksi administratif ini otoritas setiap daerah. Namun kami berharap, tanpa adanya sanksi pun masyarakat mampu secara sukarela ikut vaksinasi sebagai partisipasi membentuk herd immunity," ujar Wiku.
Update situasi terkini perkembangan #COVID19 di Indonesia (15/2)
(Sebuah utas)#BersatuLawanCovid19 #dirumahaja #jagajarak #adaptasikebiasaanbaru pic.twitter.com/6Bk2WFKYa6
— Kemenkes RI (@KemenkesRI) February 15, 2021
Seperti diketahui, poin mengenai pengenaan sanksi administratif bagi penolak vaksin Covid-19 disebutkan dalam Pasal 13A Perpres nomor 14 tahun 2021. Dalam ayat 4 disebutkan, sanksi bisa diberikan berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, serta penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintaha. Opsi saksi ketiga, diberikan dalam bentuk denda.
Lantas pada ayat 5 juga dijelaskan bahwa pengenaan sanksi administratif dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya. Kendati begitu, baik Kemkes dan Satgas Penanganan Covid-19 menggarisbawahi bahwa penerapan sanksi lebih lanjut akan diatur lewat perda.
Tak hanya itu, dijelaskan pula melalui Pasal 13B bahwa setiap warga yang memenuhi kriteria namun tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan Covid-19, bisa dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang (UU) tentang wabah penyakit menular.