Jumat 29 Jan 2021 18:44 WIB

Pro Kontra Normalisasi Pilkada, Setelah atau Bareng Pilpres?

Pilkada serentak di 2024 dipandang lebih realistis saat pandemi.

Distribusi logistik pilkada (ilustrasi). Normalisasi pilkada di 2022 dan 2023 masih menjadi perdebatan di DPR dalam revisi UU Pemilu. PDIP misalnya menolak normalisasi dan meminta pilkada tetap digelar pada 2024.
Foto:

Bertolak belakang dengan PDIP, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Almuzammil Yusuf, menyatakan partainya mendukung wacana penyelenggaraan pilkada di tahun 2022 dan 2023. Muzammil merasa khawatir penggabungan pilkada dan pilpres di tahun 2024 menimbulkan banyak masalah seperti di tahun 2019.

Muzammil meminta RUU Pemilu yang sedang dibahas di Parlemen harus meninjau pemilu serentak 2019. Berdasarkan pengamatannya, pemilu serentak 2019 mengandung permasalahan yang belum ada solusinya.

"Pengalaman pilpres dan pileg yang lalu (2019) diserentakkan kita masih menghadapi masalah kepadatan jadwal hingga banyak korban jiwa petugas TPS," kata Muzammil pada Republika. "Keserentakan pilkada di 2024 Kita undur atau tunda dulu," lanjut Muzammil.

Muzammil tak sepakat jika pilpres dan pilkada diadakan di tahun yang sama. Menurutnya, kondisi itu membuat tak optimalnya hajatan demokrasi per lima tahunan. Pihak penyelenggara pemilu akan kewalahan menyiapkan segala keperluan. Begitu juga partai politik yang harus bertarung di semua lini dalam waktu yang berdekatan.

"Walaupun pilkada akan di beda bulannya dengan pilpres tapi kerja pesta demokrasi akan tetap sangat meletihkan," ujar anggota komisi 1 DPR tersebut.

Muzammil juga menyoroti guyuran dana pada para pemilih selama hajatan demokrasi tergolong masif. Masalah inilah yang menurutnya lebih baik ditangani.

"Kualitas pemilu dan kualitas pilkada kita juga dari sudut money politic dan profesionalitas. Penyelenggara pemilu juga masih menghadapi tantangan yang berat," ucap Muzammil.

Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) turut mendukung pilpres 2024 digelar setelah pileg. Anggota Komisi II DPR Fraksi PAN, Guspardi Gaus, menilai usulan tersebut merupakan hal yang baik dan lebih ideal.

"Bagusnya begitu, itu lebih ideal dan lebih valid datanya ketimbang lima tahun yang silam," kata Guspardi.

Kendati demikian dirinya mengingatkan kembali terkait adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang desain keserentakan pemilu. Dalam putusannya MK mengamanatkan bahwa pemilihan presiden, anggota DPR, DPD tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

"Artinya yang diamanatkan MK itu keserentakan itu adanya di pilpres, DPR DPD, sedangkan pilkada rezimnya bisa berbeda namanya pemilu nasional ada pemilu lokal atau daerah, jadi itu yang diatur. Jadi yang nggak boleh nggak sama itu hanya pilpres, DPR, DPD," ujarnya.

Selain itu, Guspardi juga mempertanyakan arti keserentakan yang dimaksud di dalam putusan MK. Apakah yang dimaksud serentak tersebut adalah keserentakan tahun atau harus dilakukan dalam satu waktu pemilihan.

"Yang diserentak itu apa arti serentak? Kalau dilaksanakan dalam tahun yang sama tidak ada persoalan kita dahulukan legislatif baru presiden," katanya.

Oleh karena itu ia menilai perlu ada upaya hukum untuk mengubah putusan MK tersebut. Ia berharap upaya judicial review bisa kembali dilakukan penggiat demokrasi. Prinsipnya dirinya melihat bahwa usulan agar pilpres digelar usai pileg lebih kredibel dan lebih representatif ketimbang menggunakan hasil pileg 2019 lalu.   

"Kalau yang kemarin ini kan sudah jadi perdebatan, kok pemilunya 2019 hasil persyaratan itu pada 2014, kan gitu. Itu kan juga nggak pas," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement