REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai bahwa ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) tak menyederhanakam sistem kepartaian di Indonesia. Justru sebaliknya, hal itu malah membuat banyak suara pemilih yang terbuang dalam Pemilu.
"Parliamentary threshold terbukti gagal atau tidak berhasil sederhanakan sistem kepartaian, tetapi justru berdampak pada wasting vote," ujar Titi dalam diskusi dari yang digelar Fraksi PAN DPR, Senin (25/1).
Hal itu disampaikan, karena ia menyorot PT lima persen yang ada dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Menurutnya, ambang batas parlemen sebesar empat persen sudah cukup baik.
"Setidaknya tidak perlu menaikkan PT yang ada saat ini. Empat persen itu udah luar biasa, kita membuang suara 13,5 juta suara," ujar Titi.
Meski begitu, UU Pemilu saat ini dinilai tak dibuat untuk jangka yang panjang dan membuat adanya ketidakkonsistenan dalam penyelenggaraannya. Hal itu membuat penyelenggara selalu beradaptasi dengan aturan baru yang membuatnya tak maksimal.
Pihaknya mendorong agar revisi UU Pemilu kali ini untuk memperhitungkan jangka panjang pelaksanaan pemilihan umum. Agar regulasinya relevan dan penting untuk memperkuat kualitas tata kelola pemilu di Indonesia.
"Penyatunaskahan pengaturan pemilu dan Pilkada sangat penting dilakukan guna mengatasi pengaturan yang bermakna ganda, sulit dipahami, tumpang tindih, tidak konsisten, dan tidak komprehensif," ujar Titi.