Kamis 07 Jan 2021 19:56 WIB

Keberatan Surabaya Dijawab Tegas Satgas: PSBB Wajib!

Whisnu akan bertanya ke Mendagri, apakah Surabaya bisa lepas dari kebijakan PSBB.

Pelaksana tugas (Plt) Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana.
Foto: Dok Pemkot Surabaya
Pelaksana tugas (Plt) Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Dadang Kurnia

Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menegaskan, bahwa instruksi yang diterbitkan pemerintah pusat terkait pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa dan Bali bersifat wajib. Pernyataan satgas ini merespons keberatan yang disampaikan Plt Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana untuk menjalankan kebijakan pusat tersebut.  

Baca Juga

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, pembatasan kali ini dibuat untuk mempercepat penanganan pandemi. Kebijakan ini pun, ujarnya, dirancang dengan mempertimbangan keseimbangan aspek ekonomi dan kesehatan.

"Dalam paparan konpers hari ini juga bisa dilihat rasional dibuatnya kebijakan tersebut. Di mana daerah-daerah yang dibatasi kegiatannya merupakan daerah zona merah, kontributor terbesar peningkatan Covid di tingkat nasional serta daerah dengan kasus tertinggi," ujar Wiku dalam keterangan pers di kantor presiden, Kamis (7/1).

Wiku meyakini bahwa jangankan pemerintah daerah, masyarakat di daerah yang mendapat instruksi pembatasan kegiatan pun pasti bisa melihat dengan jelas tingkat kedaruratan yang terjadi.

"Karenanya dimohon bagi pihak manapun yang menolak mengikuti kebijakan dari pusat yang disusun berdasarkan data ilmiah untuk segera mengindahkan instruksi pemerintah karena instruksi ini bersifat wajib," ujar Wiku.

Sebelumnya, Plt Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana mengutarakan protes atas keputusan pemerintah pusat menerapkan pengetatan pembatasan kegiatan masyarakat atau PSBB di Jawa-Bali. Whisnu mengatakan, keberatan atas kebijakan tersebut karena ada penurunan kasus Covid-19 di Surabaya dalam beberapa hari ini.

"Sementara, di wilayah Jawa Timur ada empat kabupaten/kota yang zona merah tidak diterapkan PSBB. Itu tadi yang juga saya proteskan," kata Whisnu saat menggelar rapat koordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya di Ruang Sidang Wali Kota Surabaya, Rabu (6/1).

Namun, pada Kamis (7/1), Whisnu mengatakan, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dari pemerintah pusat sebenarnya tidak jauh beda dengan Perwali nomor 67 tahun 2020 tentang Penerapan Protokol Kesehatan dalam Rangka Mencegah dan Memutus Mata Rantai Persebaran Covid-19. Hanya saja, kata dia, butuh penyempurnaan di Bab V terkait Pembatasan Kegiatan Masyarakat.

"Yang perlu ditambahkan itu hanya di Bab V dengan menambahkan bahwa Perwali 67 ini tetap mengacu pada Mendagri atau keputusan di atasnya, sehingga kalau ada keputusan lagi di atasnya, kita tidak perlu mengubah lagi Perwalinya," ujar Whisnu di Balai Kota Surabaya, Kamis (7/1).

Whisnu mengatakan, perubahan Perwali itu nanti cukup diatur dalam Keputusan Wali Kota Surabaya dengan memasukkan beberapa poin yang ada di dalam instruksi Mendagri. Di antaranya aturan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) 75 persen dan tempat perbelanjaan atau mal harus tutup pukul 19.00 WIB. Sementara aktivitas lain tetap dibatasi sampai pukul 22.00 WIB. Kemudian kapasitas pengunjung restoran 25 persen, yang selama ini diatur Perwali maksimal 50 persen.

Pemkot Surabaya, kata Whisnu juga akan membuat surat edaran terkait pengunjung rumah makan dan warkop maksimal 25 persen dengan menata kursi sesuai kuota, bukan disilang lagi. "Karena selama ini tanda silang itu tetap ditempati kalau pengunjung membeludak," kata Whisnu.

Whisnu mengatakan, bakal melakukan sweeping kesiapan rumah makan sehari jelang penerapan PSBB tanggal 11 Januari 2020. Whisnu mengimbau agar warga Surabaya tidak perlu trauma dengan PSBB ini.

"Disamping itu kita aktifkan kembali kampung tangguh. Kita reaktivasi kembali sehingga bantuannya bisa kita turunkan," ujar Whisnu.

Whisnu mengatakan, bila ada kesempatan rapat lagi dengan Mendagri dia akan mempertanyakan apakah untuk Surabaya bisa lepas dari kebijakan ini. Dia juga akan mempertanyakan kenapa yang PSBB hanya Surabaya Raya dan Malang Raya, padahal ada daerah yang zona merah malah tidak PSBB.

"Nanti kalau ada rapat koordinasi dengan Mendagri akan kita sampaikan. Bisa nggak Surabaya lepas dari diskresi ini atau memang kalau harus diterapkan tidak hanya di Surabaya Raya dan Malang Raya tapi juga di daerah-daerah yang zona merah," ujarnya.

Berbicara terpisah, Wakil Gubernur Jawa Timir Emil Elestianto Dardak mengaku telah menerima Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) bernomor 1 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Emil pun menyatakan akan segera menggelar rapat bersama forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) dalam menyikapi surat edaran tersebut.

"Insya Allah tidak ada perubahan, rencana besok Gubernur (Khofifah) langsung bersama Pangdam, Kapolda, kami juga ikut bersama Forkopimda kabupaten kota akan membahas," ujar Emil di Surabaya, Kamis (7/1).

Saat ini, kata Emil, kepala biro hukum masih merumuskan tindak lanjut dari Surat Edaran Mendagri tersebut. Mengingat pemberlakuan PPKM baru efektif mulai 11 Januari 2021. Merujuk pada surat edaran tersebut, kata Emil, ada sejumlah perbedaan antara PPKM dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang pernah berjalan di sejumlah daerah di Jatim.

Soal aturan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) contohnya, pemerintah pusat membatasi kawasan perkantoran hanya boleh terisi 25 persen dari kapasitas. Sisanya bekerja dari rumah. 

"Kalau PSBB tidak ada kantor yang buka kecuali sektor-sektor yang diperbolehkan," ujar Emil.

Kedua, terkait pendidikan. Dalam Surat Edaran Mendagri disebutkan hanya diperbolehkan secara daring.

Hingga sekarang, Emil menyebutkan, pembelajaran di Jawa Timur masih memakai metode jarak jauh atau daring. Kemudian terkait pembatasan di tempat ibadah yang hanya diperkenankan berisi 50 persen dari kapasitas. Ini juga dinilai Emil masih terjaga di Jatim.

"Makan (warung makan) yang beda. Makan ini (kapasitasnya) 25 persen," kata Emil.

Selain itu, kata Emil, aturan terkait pembatasan di pusat perbelanjaan yang hanya dibolehkan buka hingga pukul 19.00 WIB. "Satu lagi pusat pembelanjaan. biasanya hanya toko-toko tertentu yang boleh buka. Ini masih boleh buka tapi sampai pukul 19.00," kata Emil.

Terkait penyekatan di pembatasan daerah yang pernah dilakukan saat PSBB, Emil menyatakan hal itu bukan sesuatu yang wajib dilaksanakan. Bahkan saat PSBB, penyekatan yang tujuannya untuk mengurangi mobilitas masyarakat bukan merupakan kewajiban.

"Tapi kan setelah cek poin akhirnya diterapkan sistem kampung tanggung. Artinya yang melakukan check itu berbasis lingkungan. Jadi sebenarnya orang mau melakukan check point itu sah-sah saja, setiap bupati/ wali kota," ujar Emil.

photo
Indonesia sumbang 0,89 persen kasus Covid-19 di dunia - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement