REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) mengutamakan persidangan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHPKada) secara online atau dalam jaringan (daring). Hal ini sebagai upaya mencegah terjadinya kluster Covid-19 baru di tengah kasus positif yang masih tinggi.
''Sebaiknya MK memang mengutamakan persidangan melalui daring,'' ujar Ihsan kepada Republika, Jumat (1/1).
Namun, kata Ihsan, ada dua catatan penting ketika persidangan dilakukan secara daring. Pertama, MK harus memerintahkan para pihak baik pemohon, terkait, atau saksi bersidang di tempat yang memiliki jaringan internet optimal untuk memastikan proses sidang online berjalan lancar.
Kedua, MK juga sebaiknya merekomendasikan para pihak tetap mengikuti persidangan secara terpusat di daerah masing-masing. Selain untuk memaksimalkan jaringan internet, upaya ini dapat memudahkan proses pengamanan yang dilakukan.
"Berbeda dengan sidang sengketa pilkada di masa biasa, maka semua terpusat di MK dan keamanan terjamin. Berbeda jika ini dilakukan secara daring dan di daerah," kata Ihsan.
Ia menuturkan, ada beberapa hal atau tahapan yang memang harus dilakukan secara langsung bertatap muka atau offline. Salah satunya tahap pembuktian, karena hakim harus memeriksa alat bukti yang diajukan seperti keaslian dokumen.
"Untuk penyerahan berkas, biasanya bisa dilakukan online dulu, baru nanti offline-nya untuk alat bukti," tutur Ihsan.
Dikutip laman resminya, MK mengumumkan pemberlakuan protokol kesehatan secara ketat di gedung MK selama pandemi Covid-19. Setiap tamu wajib menunjukkan surat keterangan swab antigen dengan hasil negatif yang masa berlaku tiga hari.
Setiap tamu juga wajib menggunakan masker dan pelindung wajah atau face shield selama waktu kunjungan. Kondisi kesehatan baik dan suhu badan tidak lebih dari 37,3 derajat celsius serta waktu audiensi dibatasi paling lama 30 menit.