REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat dokter gugur akibat Covid-19 terus bertambah menjadi 202 jiwa hingga per Rabu (16/12). IDI menganalisis ada beberapa penyebab kematian dokter, termasuk kelelahan saat bertugas.
Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih mengakui, para dokter yang menangani Covid-19 sudah mendapat alat pelindung diri (APD) ketika bertugas menangani pasien Covid-19.
"Namun kalau banyak yang gugur, kecapaian dan lama bekerja itu juga menjadi faktor," katanya saat ditemui Republika di kantornya, di PB IDI, Jakarta, Rabu (16/12).
Daeng menambahkan, kalau kasus Covid-19 terus bertambah dan rumah sakit dapat limpahan pasien maka artinya beban tenaga kesehatan (nakes) berat. Ia menyontohkan saat Agustus dan September membuktikan ketika terjadi penambahan kasus kemudian rumah sakit kebanjiran pasien maka itu menambah jumlah petugas kesehatan yang gugur.
Menurutnya, beban tenaga kesehatan ini berat karena kelelahan dan kerjanya lebih lama. "Jadi tidak hanya APD yang melindungi tetapi capai dan lama terpapar juga mempengaruhi. Kecapaian dan lama terpapar inilah yang harus dicegah," ujarnya.
Daeng meminta jadwal bekerja dokter harus diatur dan jangan sampai terlalu lama. Kemudian, dia melanjutkan, masyarakat harus menjalankan protokol kesehatan 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak hingga mencuci tangan dengan sanun harus diterapkan masyarakat supaya pasien yang masuk rumah sakit tidak bertambah.
"Kalau tidak diterapkan maka kasus Covid-19 akan naik dan bertambah juga dokter yang meninggal," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Sekjen PB IDI Fery Rahman menambahkan, dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19 karena dua sebab. Pertama memang meninggal murni karena Covid-19, kedua punya penyakit penyerta atau komorbid yang disertai dengan Covid-19.
"Penyakit penyerta kemudian ditambah dengan Covid-19 kemudian memperberat sehingga kami menganggap dua dokter di kategori ini kemudian meninggal di era pandemi ini untuk diperhatikan," katanya.
Fery menambahkan, tim tenaga kesehatan sebenarnya sudah siap menghadapi Covid-19 selama didukung sarana prasarana yang memadai. Bahkan, ia mengakui pemerintah sudah menyediakan APD tetapi sayangnya pihaknya kerap tidak tahu APD yang didapatkan telah memenuhi standar.
Selain itu, pihaknya berharap pemerintah bisa memperhatikan dokter yang bertugas di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), klinik atau fasilitas kesehatan tingkat Pertama (FKTP). Pihaknya juga meminta ada kejelasan jam kerja para dokter yang menangani virus ini. Kendati demikian, ia mengakui banyaknya dokter yang meninggal dunia membuat jam kerja dokter yang tersisa semakin padat.
"Karena satu dokter bisa menangani ratusan hingga ribuan tetapi karena tak ada dokter jadi mau tak mau (harus dilakukan)," katanya.
Sementara itu, ia menyebutkan IDI sudah aktif gencar mensosialisasikan pada dokter yang berusia lebih dari 60 tahun supaya tidak melakukan praktik, kedua jam kerja dibatasi, seorang dokter dimungkinkan tidak berpraktik melebihi jam kerja seperti dulu.
"Upaya-upaya ini sudah dilakukan tetapi mungkin infeksi Covid-19 lebih luas lagi dan cakupannya lebih luas," ujarnya.
Sebelumnya Tim Mitigasi IDI mencatat data tenaga medis yang wafat akibat Covid-19 total sebanyak 363 jiwa hingga per Selasa (15/12).
"Dari Maret hingga pertengahan Desember 2020 ini, terdapat total 363 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid, yang terdiri dari 202 dokter dan 15 dokter gigi, dan 146 perawat," kata Ketua Tim Mitigasi PB IDI Adib Khumaidi seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (15/12).
Adib menyebutkan para dokter yang wafat tersebut terdiri dari 107 dokter umum (empat guru besar), dan 92 dokter spesialis (tujuh guru besar), serta dua residen, dan satu dalam verifikasi yang keseluruhannya berasal dari 24 IDI Wilayah (provinsi) dan 92 IDI Cabang (Kota/Kabupaten).