Jumat 11 Dec 2020 19:30 WIB

Kenaikan Cukai Bukan Masalah Produsen Rokok Skala Kecil

Produsen rokok skala kecil lebih mempermasalahkan masifnya peredaran rokok ilegal.

Pekerja mengemas sigaret kretek tangan (SKT) di PR Mardi Jaya, Desa Waung, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur, Selasa (22/2). Pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau pada 2021 kecuali untuk sigaret kretek tangan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Arief Priyono
Pekerja mengemas sigaret kretek tangan (SKT) di PR Mardi Jaya, Desa Waung, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur, Selasa (22/2). Pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau pada 2021 kecuali untuk sigaret kretek tangan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Adinda Pryanka, Intan Pratiwi

Sejumlah pemilik pabrik rokok skala kecil di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, tidak mempermasalahkan kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok, sepanjang ada penindakan terhadap rokok ilegal secara masif. Diketahui, pemerintah telah memutuskan menaikkan CHT sebesar 12,5 persen.

Baca Juga

"Kami jelas tidak bisa menolak kenaikan tarif cukai rokok. Sebagai perusahaan rokok golongan kecil hanya bisa mematuhi dan mengikuti kebijakan yang sudah diputuskan Pemerintah Pusat, mengingat kenaikan tarif cukai rokok merupakan hal biasa dan sering terjadi," kata pemilik pabrik rokok Rajan Nabadi Kudus, Sutrisno di Kudus, Jumat (11/12).

Agar bisa tetap berproduksi dan laku di pasaran, dia berharap, ada perimbangan dalam penindakan peredaran rokok ilegal agar bisa bersaing secara adil di pasaran. Ketika pemberantasan masif, pemasok rokok ilegal di kawasan tertentu jadi berkurang sehingga rokok legal bisa menjadi alternatif konsumen yang sebelumnya mengonsumsi rokok ilegal.

Sutrisno mencatat, rokok ilegal banyak ditemukan di wilayah pemasarannya di luar pulau jawa dengan harga jual lebih murah. Yakni, Rp10.000 dengan isi 20 batang, sedangkan rokok hasil produksinya dijual Rp7.000 per bungkus dengan isi 12 batang.

Informasinya, kata dia, kenaikan tarif cukai rokok hanya berlaku untuk rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM), sedangkan sigaret kretek tangan (SKT) kabarnya tidak naik. Jika informasi tersebut benar, maka usahanya baru bisa merasakan dampak kenaikan rokok pada 2021 ketika izin pendaftaran untuk merek baru rokok jenis SKM sudah keluar dan dipasarkan.

Sejak berubahnya status Lingkungan Industri Kecil Hasil Tembakau (LIK IHT) menjadi Kawasan Industri Kecil Hasil Tembakau (KIHT), pabrik rokok golongan III yang biasanya memproduksi rokok SKT sudah bisa memproduksi rokok SKM karena KIHT dilengkapi mesin pembuat rokok.

PR Rajan Nabadi juga sudah mengajukan izin produksi rokok SKM dan akan dipasarkan pada awal 2021 karena rencananya pesan pita cukai sebanyak satu rim. Harga jual ecerah rokok yang baru diproduksi tersebut, diperkirakan mencapai Rp13.000 per bungkus atau lebih tinggi dari perkiraan awal hanya Rp12.000 per bungkus dengan isi 12 batang rokok.

"Sepanjang di pasaran tidak ada produk rokok ilegal, produk kami siap bersaing dengan merek rokok lain," ujarnya.

Sementara, Pemilik PR Kembang Arum Kudus Peter Muhammad Farouk mengakui untuk rokok SKT golongan III informasinya tidak naik, karena yang naik untuk rokok jenis SKM golongan I dan II.

"Saya sendiri sudah tidak memproduksi rokok SKM karena sulit bersaing di pasaran sehingga sejak tahun 2013 sudah tidak produksi. Saat ini hanya produksi SKT. Mudah-mudahan tarifnya nanti tidak ada kenaikan karena padat karya dengan melibatkan banyak pekerja," ujar Farouk.

Hal terpenting, kata dia, penindakan terhadap rokok ilegal dimaksimalkan, agar pemasok rokok ilegal di kawasan tertentu menjadi berkurang sehingga produsen rokok legal bisa menjadi alternatif konsumen yang sebelumnya mengonsumsi rokok ilegal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Kamis (10/12), menyebutkan, kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen akan berlaku mulai tahun depan. Secara lebih rinci, kenaikan CHT untuk sigaret putih mesin (SPM) golongan I akan dinaikkan sebesar 18,4 persen, sementara golongan IIA dan IIB dinaikkan masing-masing 16,5 persen dan 18,1 persen.

Selain itu, sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9 persen dan 13,8 persen untuk SKM golongan IIA. SKM golongan IIB pun naik sebesar 15,4 persen. Besaran harga banderol atau harga jual eceran di pasaran harus disesuaikan dengan kenaikan dari tiap masing kelompok ini.

Sedangkan, industri sigaret kretek tangan tidak mengalami perubahan. "Kenaikannya nol persen karena industri ini adalah yang memiliki unsur tenaga kerja terbesar," tutur Sri.

Menurut Sri, pemerintah juga harus terus menjaga tenaga kerja yakni para buruh yang bekerja di pabrik rokok dan petani tembakau. Sri mencatat, setidaknya ada lebih dari 158 ribu buruh pabrik rokok, terutama terkonsentrasi pada industri rokok kretek tangan.

Selain itu, setidaknya ada 526 ribu keluarga petani tembakau atau setara dengan 2,6 juta orang yang masih bergantung pada pertanian tembakau. "Cukai sigaret kretek tangan yang tidak alami kenaikan ini diharapkan akan memberi kepastian kepada penyerapan hasil tembakau para petani," ujar Sri.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sahminudin menilai kebijakan kenaikan cukai pada tahun ini belum tepat. Apalagi kenaikan cukai yang dikenakan juga besar.

“Idealnya kenaikan cukai itu ada di kisaran 5 persen saja,” ujar Sahminudin, Jumat (11/12).

Sahminudin juga memberikan prediksi penurunan penjualan jika cukai tetap dinaikkan. Ia mencontohkan ketika terjadi kenaikan di tahun 2019, penurunan penjualan mencapai 52 milyar batang.

"Apabila di tahun mendatang kembali terjadi kenaikan 23 - 35 persen, diprediksikan tahun 2021 akan kembali terjadi penurunan penjualan hingga 63 milyar batang, dan ini setara dengan 63 ribu ton tembakau," ujar Sahminudin.

Sahminudin juga menambahkan, jika cukai rokok tetap dinaikkan, hal ini tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap tenaga kerja dan serapan tembakau, tetapi juga akan memperbesar peredaran rokok illegal.

Ia juga memaparkan bahwa pemerintah dalam menaikkan cukai rokok perlu mempertimbangkan aspek kesehatan, tenaga kerja, dan terutama pendapatan para petani.

“Kenaikan cukai tentu akan sangat berdampak pada serapan tembakau yang langsung drop karena produksi rokok turun, sedangkan produksi petani landai. Ini menghempaskan pendapatan petani tembakau di Indonesia,” kata Sahminudin.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kebijakan kenaikan CHT oleh pemerintah lebih mengedepankan aspek pengendalian dibandingkan aspek lain seperti penerimaan negara.

"Apakah itu bagus atau tidak, itu bergantung preferensi pemerintah, jikalau tujuan utama pemerintah ingin mengurangi perokok maka sangat tepat," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (10/12).

Tetapi, Fajry menekankan target penerimaan cukai jangan terlalu tinggi atau naik signifikan tiap tahun. Dibandingkan memperhatikan nominal, konsistensi dalam menerapkan kebijakan menjadi faktor yang lebih penting.

Sejauh ini, Fajry menilai, pemerintah masih terbilang konsisten dengan kenaikan target penerimaan di tahun 2021 yang sedikit, yakni di kisaran 3,7 persen.

Fajry juga menyoroti keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan CHT untuk industri sigaret kretek tangan. "Ini bukti bahwa pemerintah serius memperhatikan tenaga kerja sekor IHT (industri hasil tembakau)," tuturnya.

photo
Program-program subsidi pemerintah dalam rangka pandemi Covid-19 - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement