Jumat 11 Dec 2020 05:03 WIB

Kala JK Menyentil Partai dan Ormas Islam Soal HRS

Membaca kritik JK soal ketiadaan Partai dan Ormas Islam dalam kontroversi HRS

Wakil Presiden RI ke-10 & 12 Jusuf Kalla bersama Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Syafruddin selaku Ketua Yayasan Museum Sejarah Rasulullah SAW dan Peradaban Islam, mendapat kesempatan melaksanakan ibadah umroh di tengah Pandemi Covid-19 oleh Pihak Kerajaan Arab Saudi.
Foto:

Simbiosis itu cuma sebentar. Terjadi perlawanan yang kuat (secara sederhana misalnya ICMI dipertandingkan dengan PCPP dan Fordem serta Barisan Nasional, ABRI Hijau vs ABRI Merah Putih, dan seterusnya) sehingga perkongsian renggang lagi dan kemudian pecah.

Semuanya kemudian berujung pada runtuhnya rezim Orba, ketika krisis moneter bertumpuk dengan hilangnya dukungan dari semua komponen politik. Namun tak ada revolusi tanpa ujung tombak, di sini Amien Rais berada di garda depan sehingga dijuluki sebagai lokomotif reformasi.

Buyarnya rezim otoriter dan dibukanya fase demokratisasi, membuka lahirnya semua kekuatan. Semua budal, seperti dibukanya gerbang sekolah usai habis jam pelajaran.

Semua elemen politik mendirikan partai politik. Namun pemenangnya adalah partai-partai yang berhasil mengkonsolidasi kekuatan dan mendapat dukungan dana. Strategi Soeharto selama 32 tahun dengan trickle down effect membuat penguasaan aset ekonomi hanya kepada segelintir orang, yang disebut konglomerat.

Kemiskinan yang gigantis, hilangnya keteladanan, mentalitas korup, lemahnya penegakan hukum telah membuat kehidupan politik menjadi transaksional dan pragmatis. Pemilih memilih yang membayar, wakil-wakil rakyat juga mengikuti maunya yang membayar. Terjadi lingkaran setan.Dominasi pengusaha di parlemen makin kuat dan wakil rakyat yang didanai pengusaha makin kuat.

Maka jadilah Indonesia menjadi negara oligarkis dan plutokratis – dipimpin segelintir orang dan oleh pemilik uang. Tak ada lagi kenegarawanan. Inilah yang kemudian berujung pada kekosongan kepemimpinan umat.

Rakyat tak terwakili. Jangankan untuk hal-hal yang abstrak, bahkan dalam UU Ciptaker (UU Omnibuslaw) kritis dari banyak tokoh dan ormas pun diabaikan. Politik menjadi kering, dimaknai pada kelembagaan formal dan prosedural. Politik tak mampu menangkap substansi bernegara.

Isu-isu lama yang sudah selesai di masa Sukarno maupun Soeharto seperti hubungan agama dan negara, hubungan Islam dan Pancasila, dikelupas lagi. Tuntutan terhadap distribusi ekonomi dibenturkan dengan isu kebangsaan, sila kelima diadu dengan sila ketiga. Perbedaan pendapat dikelola sebagai permusuhan, rakyat menjadi musuh negara.

Hal ini berimpit dengan era post truth, di mana argumen lebih penting daripada sentimen. Banjir informasi telah membuat individu kehilangan kuasa kendali terhadap informasi, karena itu sentimen menjadi solusi dalam perebutan narasi dan opini publik.

Situasi ini hanya melahirkan ekstremitas: para fundamentalis suporter. Suporter satu melawan suporter lainnya; adu keras suara, adu keras emosi, adu keras massa.

Pada sisi lain, suara alternatif tak muncul. Sibuk dengan rutinitas dan terkooptasi dalam jejaring oligarki. Karena itu, di lingkungan umat HRS seolah menjadi satu-satunya suara.

Hasil polling SMRC terbaru memperlihatkan itu: popularitas HRS mencapai 73 persen, dan kesukaannya mencapai 43 persen. Popularitasnya mengalahkan Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, Agus Yudhoyono. HRS hanya kalah oleh Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

Memang angka kesukaan terhadap HRS lebih kecil dari semua figur tersebut. Namun 43 persen bukan angka yang kecil, dan itu sudah jauh di atas masa-masa sebelumnya. Selain itu, HRS tak pernah membangun pencitraan. Ia fokus nahi munkar, fokus ‘perang’.

Selain itu, bandingan HRS adalah tokoh-tokoh politik yang memiliki dana besar dan jaringan kuat. HRS mengisi ruang kosong karena tiadanya suara alternatif terhadap kekuasaan dan terhadap kemapanan.

Tentu saja masih banyak suara kritis lain, tapi tak terkonsolidasi, termasuk dari lingkungan umat Islam yang tak menyukai HRS – secara ideologis maupun secara gaya personalitasnya.

Dicari Pemimpin Baru

Dalam setiap tantangan zaman, selalu dibutuhkan figur-figur cerdas dan visioner. Sukarno menyuarakan persatuan dalam perjuangan kebangsaan melawan kolonialisme. Fragmentasi politik ia satukan dengan temuan briliannya, Pancasila.

Sepanjang hidupnya Soekarno dedikasikan untuk memperjuangkan persatuan, termasuk upaya mustahilnya menyatukan komunisme ke dalam Pancasila.

Ada juga sosok KH Ahmad Dahlan membangun pendidikan dan kesehatan. Kini, di luar milik pemerintah, aset lembaga pendidikan dan fasilitas kesehatan Muhammadiyah adalah yang terbesar di Indonesia. Saat ini Muhammadiyah memiliki 164 perguruan tinggi, 22 ribu TK/PAUD/KB, 5.999 SD/MI/SMP/MTs/SMA/SMK, 583 RS/Klinik, 384 panti asuhan, dan 356 pesantren. Semuanya tersebar di seluruh Indonesia.

Begitu juga dengan KH Hasyim Asy’ari menjaga dan memajukan lembaga pesantren sebagai subkultur. Kini ada hampir 27 ribu pesantren di Indonesia. Cak Nur dan Gus Dur adalah tonggak penting dalam menghentikan mimpi membangun ideologi Islam dalam bernegara di Indonesia.

Segala mimpi itu masih dipelihara HRS melalui FPI, sebuah kelompok sangat kecil, namun kini mendapat momentum karena kekosongan kepemimpinan umat.

Sebetulnya ada sejumlah tokoh yang berpretensi menempati kedudukan yang ditinggalkan Cak Nur dan Gus Dur. Namun tak ada visi baru dan tak mampu menempatkan posisi secara tepat. Memang butuh kecerdasan dan keaslian gaya serta gagasan. Tak ada copy paste yang berhasil. Selain itu, tantangan dan situasinya yang berbeda.

Pertama, saat ini adalah era demokrasi. Kedua, kekuasaan ada di tangan oligarki. Ketiga, kemiskinan dan pragmatisme telah menjadi sepasang pengantin yang menentukan perilaku masyarakat.

Keempat, saat ini bukan sekadar era teknologi informasi tapi juga sudah bergerak ke arah artificial intelligent dan internet of things. Kelima, geopolitik internasional sudah berubah dari bipolar ke multipolar namun kelembagaan multilateral yang kian lemah.

Keenam, bangkitnya kembali gagasan eksklusivitas di satu sisi dan populisme di sisi yang lain. Ketujuh, tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.

Dengan semua tantangan itu, pemimpin baru tersebut harus bisa menjawab dua hal. Pertama, tuntutan keadilan ekonomi dan partisipasi umat. Perlu ada solusi permanen dalam menyelesaikan ketimpangan ekonomi dan agregasi politik ini. Kedua, terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk dua hal ini perlu konsensus nasional dari figur-figur tepercaya agar soal laten ini tak terus disimpan di bawah karpet seolah Indonesia baik-baik saja. Dua tujuan ini tak ada yang baru, namun tantangannya yang berbeda.

Karena itu, kembali ke sentilan JK, hal ini merupakan PR besar para pemimpin umat dan juga para pemimpin bangsa. Tanpa kesadaran bersama maka kemajuan Indonesia akan terus tertatih-tatih.

Semua ini adalah problem bersama sebagai bangsa Indonesia, yang sudah dirumuskan secara cerdas dan benar pada 1945. Negeri ini berkaki banyak, jika salah satu kaki tak bisa berfungsi optimal maka Indonesia tak bisa lari.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement