Jumat 11 Dec 2020 05:03 WIB

Kala JK Menyentil Partai dan Ormas Islam Soal HRS

Membaca kritik JK soal ketiadaan Partai dan Ormas Islam dalam kontroversi HRS

Wakil Presiden RI ke-10 & 12 Jusuf Kalla bersama Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Syafruddin selaku Ketua Yayasan Museum Sejarah Rasulullah SAW dan Peradaban Islam, mendapat kesempatan melaksanakan ibadah umroh di tengah Pandemi Covid-19 oleh Pihak Kerajaan Arab Saudi.
Foto:

Dinamika umat Islam Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 bergerak naik-turun. Gelombangnya tak cuma longitudinal, naik-turun seperti grafik.

Tapi juga spiral-horizontal: naik-turun dan kiri-kanan. Ada kalanya mendaki, ada kalanya menurun. Ada kalanya di puncak, ada kalanya tersungkur. Kadang terpental ke kanan, kadang terpental ke kiri. Namun selalu ada ciri pokok yang selalu melekat: terlalu banyak kelompok dan secara ekonomi relatif tetap miskin.

Saat proklamasi, ‘beruntung’ (sic!) kolonialis sudah beralih ke Jepang yang netral agama, sehingga penyusunan anggota BPUPK memberi porsi yang relatif baik pada umat Islam. Walau tetap didominasi nasionalis sekular, tapi wakil Islam relatif terakomodasi.

Bahkan sebelum itu, Jepang menginisiasi kelahiran Masyumi. MIAI yang berdiri di masa kolonial Belanda diberi peluang untuk berkembang oleh Jepang, namun kemudian Jepang menghendaki ada perubahan sehingga menjadi Masyumi. MIAI dan Masyumi adalah lembaga yang menyatukan seluruh komponen umat Islam.

Selain itu, Jepang juga mendirikan Putera dengan tokohnya empat serangkai: Sukarno, Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hadjar Dewantara. Umat diwakili oleh KH Mas Mansyur. Berkat semua itu, tentu juga karena kiprah para aktornya, maka kemudian kekuatan Islam berada di papan atas sejarah Indonesia. Hal itu makin dibuktikan pada pemilu 1955.

Namun setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, melalui politik belah bambu – sebuah istilah yang disodorkan Buya Ahmad Syafii Maarif dalam tesis masternya – telah menjadikan Islam melalui fase menurun. Pergantian kekuasaan ke rezim Orde Baru tak mengubah keadaan, walau dalam upaya penjatuhan rezim Orde Lama kekuatan Islam dimanfaatkan sebagai alat pemukul yang kuat. Bahkan penguasa Orba makin memurukkan kekuatan Islam.

Puncaknya adalah tragedi Tanjung Priok. Dalam serpihan-serpihan lainnya muncul GPK Warsidi, Komando Jihad, dan lain-lain, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya intelijen dengan strategi meniup balon untuk diledakkan – tentang hal ini bisa dibaca pada tesis doktoral Busyro Muqoddas, pengacara yang pernah menjadi komisioner KPK.

Semenjak kegagalan memulihkan Masyumi, termasuk menggunakan nama lain, serta kegagalan aktifnya kembali tokoh-tokoh eks-Masyumi termasuk dari barisan tak popular, di awal Orba, telah membuat pimpinan Masyumi mengambil langkah drastis: berpolitik melalui jalur dakwah.

Wujud konkretnya adalah mendirikan DDII, dengan fokus dakwah di kalangan kampus. Dalam varian lain, rezim Orba juga menghalangi tokoh-tokoh lama untuk berkiprah. Hatta batal mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia. Para Sukarnois pun disingkirkan, apatah lagi dari PKI dan keluarganya.

Desukarnoisasi oleh Orba yang terlegitimasi karena ada Tap MPR yang melarang menyebarkan ajaran Bung Karno, serta karena rezim Orba adalah yang menjatuhkan rezim Orla, maka pengikut Sukarno memilih jalan tiarap. Sedangkan kekuatan Islam yang ikut mendirikan Orba maka merasa memiliki legitimasi untuk ikut berperan.

Tapi rezim militer tak ingin ada kekuatan lain serta menjadikan Islam sebagai bagian dari ancaman, maka kekuatan Islam adalah bagian dari yang harus dilumpuhkan. Setelah sukses menggergaji eks Masyumi, rezim Orba giliran memotong NU. Sempurna!

Riwayat itu menjelaskan dua hal. Pertama, kegagalan kekuasaan dalam memaknai kekuasaan. Rakyat dan yang berbeda dilihat sebagai musuh yang harus ditindas dan dikalahkan.

Kedua, kegagalan aktor-aktor umat Islam dalam bersiasat dan menafsir doktrin. Dalam situasi itu lalu muncul Nurcholish Madjid, seorang anak Masyumi, yang meneriakkan Islam Yes Politik No maupun keharusan sekularisasi.

Melalui dua langkah itu, pada satu sisi Cak Nur mengajak umat Islam 'menjauh' dari politik, pada sisi lain Cak Nur mendamaikan Islam dan Pancasila serta merumuskan hubungan yang selaras antara Islam dan negara.

Di lingkungan NU juga muncul Abdurrahman Wahid. Melalui gerakan kembali ke Khittah 1926, ia mengajak warga NU menjauhkan wadah NU dari politik, artinya NU tak lagi memiliki hubungan organisasional dengan partai. Pada sisi lain ia juga menyuarakan pribumisasi Islam, yang mendamaikan hubungan Islam dengan keindonesiaan maupun Islam dan negara.

Namun kedua figur ini bukan bagian dari kekuasaan tapi justru menjadi oposisi yang loyal. Di bagian lain ada tokoh-tokoh seperti M Amien Rais, Imaduddin Abdulrachim, M Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan lain-lain.

Dengan cara itu mereka menjadi tokoh alternatif dari rahim umat. Dalam perkembangannya, publik membedakan mereka ke dalam dua arus pendekatan: pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Kategorisasi tersebut sebetulnya tak pas benar.

Seiring kesuksesan pembangunan ekonomi dan pendidikan oleh pemerintah Orba serta kesuksesan gerakan Cak Nur-Gus Dur dkk, hubungan umat Islam dan negara mulai membaik.

Salah satu prestasi monumental lainnya adalah ketika gagasan Cak Nur tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka diterima Soeharto. Dengan demikian, hubungan agama dan Pancasila memiliki jalan untuk bersimbiosis seperti harapan Sukarno dulu.

Di era Sukarno, tak ada masalah tentang hubungan Pancasila dan agama, namun di awal Orde Baru terjadi ketegangan karena mempertentangkan agama dan Pancasila.

Ada upaya hegemonik satu dan yang lainnya. Keselarasan di aspek ideologis ini berlanjut pada penyerapan aspirasi. Sehingga terjadi bulan madu antara umat Islam dan negara. Sempat muncul istilah “ijo royo-royo” dari pihak yang tak senang, yang kemudian diplesetkan menjadi “ijo loyo-loyo”.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement