REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku kesulitan menangkap buronan Harun Masiku. Tersangka suap Paruh Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI 2019-2024 ini bahkan diakui lebih sulit diamankan ketimbang Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo.
"Iya secara teknis seperti itu. Harun berupaya menyembunyikan diri sementara dalam OTT terakhir ini bentuk kerja bersama dan mudah melakukan kegiatan penangkapan ini," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam sebuah diskusi virtual di Jakarta, Ahad (29/11).
Lembaga antirasuah itu mengatakan, ada beberapa kendala teknis terkait perburuan bekas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu. KPK mengungkapkan Harun kemungkinan sudah tidak menggunakan lagi perangkat komunikasi seperti ponsel dan perangkat lainnya.
"Itu dugaan sementara. Berbeda dengan seorang menteri yang tentu alat-alat komunikasi sangat terbuka untuk terus digunakan, ini dari sisi teknisnya saja," katanya.
Nawawi mengatakan, KPK juga telah mencoba melakukan evaluasi atas kesulitan yang terjadi dalam tubuh tim satgas yang dibebankan untuk mencari tersangka buron tersebut. Dia melanjutkan, pimpinan KPK juga memberi izin apabila satgas yang ditugasi memburu Harun memerlukan personel tambahan.
"Saya sudah beberapa kali memanggil deputi penindakan, direktorat penyidikan untuk mengevaluasi satgas ini," katanya.
Dia melanjutkan, KPK juga telah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya dengan memasukan Harun ke dalam DPO. Dia mengatakan, KPK juga telah menyebarkan foto Harun saat melakukan koordinasi dan supervisi di daerah guna meningkatkan peran serta masyarakat terkait informasi keberadaan tersangka.
Seperti diketahui, Harun Masiku dimasukkan ke dalam daftar buronan oleh KPK pada 17 Januari 2020 lalu. Namun hingga saat ini KPK maupun aparat penegak hukum lain belum dapat menemukan keberadaannya.
Harun merupakan tersangka kasus suap paruh antar waktu (PAW) Anggota DPR RI periode 2019-2024. Status itu dia sandang bersamaan dengan tiga tersangka lain yakni mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan, mantan anggota bawaslu Agustiani Tio Fridelia dan pihak swasta Saeful.
Wahyu disebut-sebut telah menerima suap Rp 900 juta guna meloloskan caleg PDIP Harun Masiku sebagai anggota dewan menggantikan caleg terpilih atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.