REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara terkait pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta pemeriksaan tersangka Edhy Prabowo tidak dilakukan berlebihan. KPK menegaskan selama ini tidak ada pemeriksaan yang dilakukan berlebihan.
"Pemeriksaan tidak ada istilah berlebihan. Pemeriksaan dilakukan dalam rangka mengungkap keterangan yang sebenar-benarnya," kata Ketua KPK Firli Bahuri, Ahad (29/11).
Dia mengatakan, KPK tidak bisa memastikan apakah proses pemeriksaan hanya dapat berjalan dalam waktu singkat. Dia menjelaskan, keterangan saksi adalah keterangan yah disampaikan seseorang yang berkaitan dan bersesuaian dengan keterangan lainnya.
"Kami tidak bisa apakah pemeriksaan cukup hanya satu jam, apa cukup dua jam apa tiga jam bukan itu. Tapi yang paling esensial sejauh mana keterangan yang disampaikan ada kesesuaian dengan keterangan saksi yang lain," katanya.
Komisaris Jendral Polisi ini mengatakan, KPK tidak akan memeriksa seseorang secara berlebihan. Lanjutnya, pemeriksaan saksi akan dilakukan secara profesional, transparan dan akuntabel.
Dia mengatakan, apa yang dikerjakan penyidik nantinya akan diuji oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Lanjutnya, lengkap atau tidaknya berkas perkara juga akan diuji kembali dalam peradilan.
"Kalau ibarat obat, pas ukurannya, takarannya pas cara mengadonnya, pas cara menggunakannya. Jadi tidak ada yang berlebihan," katanya.
Sebelumnya, Luhut meminta pemeriksaan Edhy dilakukan tidak secara berlebihan. Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Ad Interim itu meminta KPK melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang bagus saja.
Seperti diketahui, Edhy Prabowo resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus perizinan ekspor benih lobster oleh KPK. Dia terjaring operasi tangkap tangan KPK saat mendarat di Terminal 3 bandara Soekarno-Hatta. Dia diamankan setelah pulang dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS).
Lembaga antirasuah itu menetapkan Menteri Edhy bersama dengan lima penerima suap lainnya dan satu orang pemberi suap. Edhy bersama dengan lima orang penerima suap diduga mendapatkan pemberian dengan total Rp 9,8 miliar.
Para tersangka penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara tersangka pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.