Selasa 24 Nov 2020 07:08 WIB

Satgas Temukan Lebih dari 1.600 Klaster di 10 Provinsi

Satgas mengatakan sejumlah klaster baru terjadi beberapa hari terakhir ini. 

Rep: Dessy Suciati Saputri  / Red: Ratna Puspita
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro
Foto: @BNPB_Indonesia
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro menyampaikan, Kementerian Kesehatan dan Satgas mengidentifikasi lebih dari 1600 klaster di 10 provinsi prioritas berdasarkan pelacakan kontak hingga Ahad (22/11). Kesepuluh provinsi prioritas tersebut yakni Aceh, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua. 

Reisa menyebut, lebih dari lima ribu pelacak kontak pun telah diturunkan di daerah-daerah tersebut. Dari sekitar 1.600 klaster yang ditemukan, Satgas menemukan sejumlah klaster baru yang terjadi beberapa hari terakhir ini. 

Baca Juga

"Sayangnya, beberapa klaster terjadi baru-baru ini," kata Reisa dalam dialog 'Tata Laksana Vaksinasi di Indonesia'. 

Reisa mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan penguatan tracing atau pelacakan kasus dengan target rasio 1:30. Yakni, jika ada 1 orang pasien yang terkonfirmasi positif, maka 30 orang kontaknya akan ditelusuri. 

Pelacakan dilakukan secara agresif, mulai dari tingkat kecamatan, terutama di daerah dengan populasi besar atau terjadi kerumunan dengan jumlah massa yang besar. Karena itu, Reisa meminta agar masyarakat yang berada dalam kerumunan dan situasi dengan risiko tinggi agar melakukan pemeriksaan Covid-19 serta melakukan isolasi mandiri sehingga dapat melindungi orang lain terutama orang-orang terdekat. 

"Pelajaran bagi kita yang tidak berada di acara-acara kerumunan dengan tetap disiplin 3M," kata dia. 

Ia pun mengingatkan masyarakat agar membantu menekan angka penambahan kasus baru. Hal ini agar para tenaga kesehatan dapat berkonsentrasi penuh menyembuhkan pasien dan ruang perawatan intensif ICU tidak semakin penuh oleh pasien Covid-19. 

"Sehingga mereka tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi keluarganya juga, lalu merugikan secara ekonomi juga apabila terkonfirmasi positif," kata Reisa. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement