Selasa 17 Nov 2020 09:20 WIB

Aroma Persaingan Bursa Kapolri dari Pencopotan Kapolda Metro

Pencopotan Kapolda Metro Jaya bisa jadi bagian manuver persaingan calon Kapolri.

Rep: Ali Mansur/ Red: Indira Rezkisari
Kapolda Metro Jaya yang baru Irjen Fadil Imran.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Kapolda Metro Jaya yang baru Irjen Fadil Imran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai selain akibat lemahnya penegakan protokol kesehatan, pencopotan Kapolda Metro Jaya juga akibat persaingan bursa calon Kapolri. Irjen Pol Nana Sudjana harus legawa lengser dari jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya karena diduga tidak menegakan protokol kesehatan saat resepsi pernikahan puteri Habib Rizieq Shihab (HRS).

"Pencopotan Kapolda Metro bagian dari manuver persaingan dalam bursa calon Kapolri di mana Kapolda Metro sebagai salah satu calon kuat dari Geng Solo. Sehingga kecerobohan itu dimanfaatkan sebagai manuver dalam persaingan bursa calon Kapolri," ungkap Neta dalam keterangan saat dikonfirmasi, Selasa (17/11).

Baca Juga

Lanjut Neta, dalam kasus pencopotan Kapolda Jabar, ia diikutsertakan karena dianggap membiarkan kerumunan massa dalam acara HRS di Jawa barat. Neta melihat sebenarnya Polri sudah bersikap mendua dalam menjaga protokol kesehatan. Padahal, kapolri telah mengeluarkan ketentuan agar jajaran polri bersikap tegas dalam menindak kegiatan masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan.

Menurut Neta, hal ini terlihat dari berbagai kegiatan masyarakat yang dibubarkan polisi di sejumlah daerah, apakah pesta perkawinan dan lain-lain. Tapi dalam kegiatan yang dilakukan sejumlah tokoh atau dihadiri sejumlah tokoh yang berpengaruh, polisi seakan tidak berani membubarkannya. Seperti dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan HRS sepulang ke Indonesia, polisi tak berdaya membubarkannya

"Misalnya dalam Munas PBSI yang dipimpin Wantimpres Wiranto di Tangerang, acaranya tetap berlangsung tanpa dibubarkan polisi," terang Neta.

Masih kata Neta, dari kasus ini muncul opini di masyarakat bahwa polisi hanya berani pada masyarakat yang tidak punya pengaruh dan takut pada figur-figur yang berpengaruh. Apalagi dalam kasus HRS, di mana massa dan pendukungnya cukup banyak, Polda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat sepertinya tidak mau ambil risiko dan membiarkannya.

Padahal apa yang dilakukan polisi itu bisa dinilai masyarakat sebagai tindakan, tajam ke atas tumpul ke bawah. Kata Neta, sikap polisi yang mendua itu tidak hanya mengganggu rasa keadilan publik tapi juga membiarkan klaster pandemi Covid 19 berkembang luas.

"Seharusnya Polri satu sikap, yakni bersikap tegas pada semua pelanggar protokol kesehatan agar penyebaran pandemi Covid 19 bisa segera dikendalikan," ucapnya.

Tindakan tegas kepada Kapolda Metro dan Kapolda Jabar ini diharapkan menjadi peringatan bagi Kapolda lain. Mereka harus bisa bersikap tegas untuk menindak dan membubarkan aksi kerumunan massa di massa pandemi Covid 19 ini. Jika mereka tidak berani bersikap tegas, Kapolda harus siap terima konsekuensi.

IPW menilai Fadil sangat cocok menjadi Kapolda Metro Jaya. Selain pernah bertugas di Jakarta, saat menjadi Kapolda Jawa Timur cukup tegas melarang dan membubarkan aksi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). "IPW berharap Fadil juga bisa bersikap tegas pada kerumunan-kerumunan yang dilakukan HRS yang melanggar ketentuan protokol kesehatan," harap Neta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement