Kamis 12 Nov 2020 12:13 WIB

Salah Kaprah Jabatan dan Panggilan Profesor di Indonesia

Literasi publik mengenai jabatan profesor masih rendah.

Wisuda sarjana (ilustrasi)
Foto:

Profesor Sebagai Julukan  

Meskipun jabatan profesor berlaku dalam nuansa akademis, semat profesor bisa saja diberikan di dalam konteks lain seperti pujian atas prestasi yang luar biasa. Profesor model seperti ini sifatnya adalah “gelar” (sengaja saya beri tanda kutip) atau julukan penghormatan. Contoh dari penyematan julukan profesor seperti ini terjadi atas diri Arsene Wenger, mantan pelatih klub besar Liga Primer Inggris Arsenal.

Wenger merevolusi pendekatan di dalam manajemen sepakbola melalui program diet dan pengaturan nutrisi atas pemain. Ia juga manajer yang memengaruhi manajer lain di Liga Inggris dalam penggunaan sains olahraga dan statistik pemain di dalam perekrutan dan strategi. Pendekatan yang dilakukannya ini kemudian ditiru oleh banyak manajer sepakbola.

Warisan Wenger bukan hanya atas klub sepakbola Arsenal, klaim Lee Dixon (The Guardian, 2018), tetapi atas sepakbola Inggris dan pengaruhnya di dalam penulisan ulang panduan pengelolaan sepakbola modern. Tidak hanya dalam aspek olahraga, Mattias Karen (ESPN Sport, 2018) dan sebelumnya Andel (Bleacher Report, 2012) juga menunjukkan fakta bahwa Wenger adalah manajer yang paham bahwa sepakbola juga juga tentang pengembangan bakat muda dan pengelolaan keuangan klub yang efisien. Dengan pengaruh dan prestasinya di industri sepakbola itulah, Wenger mendapatkan julukan The Professor.

Di dalam bahasa Inggris, Wenger mendapatkan panggilan The Professor atau dalam bahasa Perancis, Le Professeur. Sebutan The Professor, bukan profesor, diberikan kepada Wenger. Julukan atas Wenger ini berbeda dengan jabatan profesor atas diri dosen atau peneliti. Julukan Sang Profesor ini lantas tidak membuat Wenger dipanggil sebagai Profesor atau Prof. Wenger.

Kasus Pranoto Hadi

Di dalam video yang diunggah oleh musisi Erdian Aji Prihartanto atau Anji di akunnya Dunia MANJI, Hadi Pranoto dituliskan di layar sebagai “Prof. Hadi Pranoto” dengan label sebagai “Pakar Mikrobiologi.” Apa yang terjadi adalah malapraktik penyematan jabatan profesor.

Jikapun argumen yang hendak disodorkan dari praktik penyematan profesor atas diri Hadi Pranoto adalah karena konon teman-teman Hadi Pranoto sering memanggilnya profesor di dalam pergaulan sehari-hari sebagai paraban, argumen ini lemah. Sebab bagaimanapun juga di dalam konteks video itu, ada sesuatu yang hendak diklaim oleh Hadi Pranoto yang sifatnya serius dan mungkin bisa mencelakakan orang lain. Kepakaran dalam bidang mikrobiologi sebagai penjelas dari sematan profesor, menegaskan bahwa penggunaan jabatan profesor itu bukan dalam nuansa paraban.

Tambahan pula, berturut-turut dari Hadi Pranoto didapatkan tambahan informasi lainnya yang tidak benar seperti keanggotaannya di dalam IDI dan klaim sebagai pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Beberapa hal yang disampaikan oleh Hadi Pranoto justru kian menunjukkan adanya niatan yang tidak baik dari dirinya. Belum lagi misalkan kasus ini ditakar dengan kemungkinan dapat mencelakakan diri orang lain.

Tidaklah keliru jikalau kemudian pihak yang berwajib serius membawa kasus ini ke meja hijau. Kita tentu juga berharap agar di masa mendatang tidak terjadi lagi kasus seperti kasus Hadi Pranoto. Demikian.

PENULIS/ PENGIRIM: Dipa Nugraha, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement