Kamis 12 Nov 2020 12:13 WIB

Salah Kaprah Jabatan dan Panggilan Profesor di Indonesia

Literasi publik mengenai jabatan profesor masih rendah.

Wisuda sarjana (ilustrasi)
Foto:

Di Amerika Serikat dan Malaysia

Panggilan profesor kepada dosen dengan tidak memandang jabatan fungsional atau latar belakang pendidikan terakhirnya berlaku di Amerika Serikat. Panggilan profesor di Amerika Serikat menurut Gary Stute (Quora, 2016) digunakan di dalam percakapan yang sifatnya santai nonformal atau terkadang menurut Jenny Davidson (Quora, 2016) juga dipakai sebagai panggilan di dalam situasi formal atas seorang dosen dengan tidak memperdulikan status tenure (menapak karir profesi perdosenan) dan tingkat pendidikan terakhirnya. Meski demikian, sebutan profesor atas dosen di Amerika Serikat di dalam percakapan ini berbeda dengan penggunaan dalam dokumen tertulis.

Di dalam dokumen tertulis aturannya lebih kaku. Assistant professor disingkat asst. prof. kemudian associate professor kadang dituliskan dengan singkatan assc. prof. dan bukan prof. saja. Perbedaan di dalam penulisan gelar ini membedakan antara dosen berjabatan assistant professor, associate professor, dengan professor. Jadi ada perbedaan praktik antara panggilan dengan penulisan jabatan dosen.

Sementara itu, berdasarkan pemaparan Hafiz Al Kalanji (The Patriots, 2018), secara umum dapat dikatakan jabatan profesor di Malaysia hampir sama dengan di Indonesia. Di antara beberapa model jabatan keprofesoran yang ada di Malaysia, terdapati ada dua jabatan profesor yang mungkin menarik dibicarakan di sini yaitu profesor diraja dan profesor kehormat.

Jabatan pertama diberikan kepada seorang ahli yang diakui kepakarannya secara global dan mendapatkan perkenan dari Yang di-Pertuan Agong untuk menyandang ini. Di Indonesia, kita tidak mempunyai profesor model ini.

Jabatan keprofesoran kedua, profesor kehormat, diberikan di Malaysia kepada tokoh yang berpengaruh di dalam masyarakat tanpa disertai beban kewajiban tertentu. Di Indonesia, jabatan profesor kehormat ini tampaknya mirip dengan jabatan profesor atau guru besar tidak tetap.

Jabatan profesor atau guru besar tidak tetap di Indonesia mempunyai dasar aturan Surat Dirjen Dikti no. 454/E/KP/2013 tanggal 27 Februari 2013, Pasal 72 ayat 5 UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Peraturan Mendikbud Nomor 40 Tahun 2012. Berdasarkan aturan ini, seseorang dapat diangkat menjadi guru besar tidak tetap dengan tidak perlu memiliki status sebagai dosen tetap, tidak terikat dengan kewajiban menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi, tidak diberikan tunjangan jabatan, dan diangkat karena memiliki karya yang bersifat tacit knowledge.

Dua orang tokoh yang telah mendapat jabatan guru tidak tetap ini adalah SBY dan AM Hendropriyono. Berkenaan dengan penganugerahan jabatan atas SBY dan AM Hendropriyono ini, Guru Besar UGM di bidang Manajemen dan Kebijakan Publik Muhadjir Darwin (Kompas, 2014) sebenarnya mempermasalahkan tolok ukur yang dipergunakan di dalam pengangkatan keduanya. Namun tulisan ini tidak hendak membicarakan hal tersebut lebih jauh.

Lepas dari itu, panggilan profesor yang diberikan kepada dosen di Malaysia juga berlaku seperti di Indonesia. Berdasar tulisan seorang dosen Malaysia Othman Talib (2011) di laman pribadinya, panggilan profesor hanya diberikan kepada dosen yang sudah mencapai jabatan akademik professor penuh [full professor] sedangkan kepada mereka yang belum mencapai jenjang jabatan akademik professor penuh dipanggil sesuai dengan gelar akademiknya yaitu Doktor untuk yang bergelar Dr. atau Ph.D. dan En atau Puan untuk mereka yang bergelar akademik Master.

Profesor sesudah Pensiun atau Meninggal

Jabatan profesor bukan jabatan yang dibawa mati. Jika seseorang berjabatan fungsional profesor meninggal atau pensiun dan sudah tidak aktif di dunia akademik, maka penyematan jabatan profesor atas dirinya seharusnya berhenti. Namun aturan ini tampaknya tidak diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin sebagai panggilan kepada seorang profesor yang sudah pensiun dari dunia akademik atau sudah meninggal masih bisa diterapkan seperti lazim terjadi di beberapa negara sebagai penghormatan namun di dalam dokumen tertulis seperti kartu nama dan kartu identitas seharusnya tidak boleh dilakukan.

Menurut Nurfitri Thio (2011), administrator laman web Kopertis Wilayah XII, aturan mengenai ini sudah jelas. Profesor juga bukan gelar akademik yang bisa disandang seseorang hingga liang kubur.

Profesor bukanlah gelar yang bisa terus dipakai oleh seseorang yang sudah purnabakti atau pensiun dari dunia akademik. Produk hukum yang mengatur ini terdapati di dalam pasal 1 UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 PP No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen serta Tunjangan Kehormatan Profesor, dan pasal 105 PP 60 tahun 1999.

Hal senada juga diutarakan Adnan Kasry, Guru Besar Manajemen Sumber Daya Perairan dari Universitas Riau. Di tulisan yang terbit di Riau Pos dengan judul “Profesor bukan Gelar Akademik” (2006), ia mencermati betapa banyaknya nama jalan dan gedung di beberapa kota menggunakan nama seorang tokoh yang sudah meninggal lengkap dengan atribut profesor seperti Jl. Prof. Moh. Yamin, SH di Jakarta Pusat dan RS Prof. Dr. Sulianti Saroso di Jakarta Utara. Praktik ini seharusnya dihentikan sebab menyalahi peraturan yang ada.

Profesor adalah jabatan akademik yang tersemat atas diri seseorang ketika ia masih aktif di dunia akademik yang berbeda dengan gelar akademik seperti Sarjana, Master, atau Doktor yang bisa dibawa hingga meninggal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement