REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Massa yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cirebon Raya berunjuk rasa di depan kantor Wali Kota dan DPRD Kota Cirebon yang posisinya saling berhadapan di Jalan Siliwangi, Senin (2/11). Dalam aksinya, massa buruh itu menuntut kenaikan UMK 2021.
Massa meminta Wali Kota Cirebon untuk mengabaikan Surat Edaran (SE) Kemenaker Nomor M/11/HK.04/X/2020 dan Gubernur Jabar tentang penetapan upah 2021. Pasalnya, dalam surat itu disebutkan tak ada kenaikan upah untuk 2021.
"Kami meminta agar wali kota mengabaikan SE Kemenaker dan gubernur," tegas Ketua FSPMI Cirebon Raya, Asep Feddy Hartono.
Asep mengungkapkan penghitungan upah bagi buruh semestinya disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Dalam aturan itu, penentuan upah memperhitungkan kebutuhan hidup layak (KHL) 64 item. "Ditambah dengan laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi," tukas Asep.
Asep menyatakan tidak adanya kenaikan UMK akan memberatkan para buruh. Apalagi, harga kebutuhan pokok selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Tak hanya menuntut kenaikan UMK 2021, dalam aksi tersebut massa juga menyatakan penolakannya terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka mendesak agar presiden menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU yang telah disahkan DPR RI tersebut.
Saat menemui pengunjuk rasa, Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis berjanji akan membantu meneruskan aspirasi tersebut. "Kami akan teruskan kepada pemerintah yang lebih tinggi, baik provinsi maupun pusat," kata Azis.
Dalam kesempatan itu, Azis pun langsung menandatangani surat yang berisi aspirasi buruh yang meminta adanya kenaikan upah 2021 dan menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Surat tersebut akan dilayangkan ke Kemenaker dan Gubernur Jabar.
Azis menyatakan pihaknya telah berupaya agar pengusaha dan buruh berjalan selaras. Namun, keputusan tersebut berasal dari pemerintah yang lebih tinggi.