Rabu 04 Nov 2020 02:38 WIB

Maju Mundur Beli Pesawat Tempur, Baru atau Bekas?

Pemerintah dihadapkan pada kondisi yang dilematis dalam membeli pesawat tempur.

Pesawat Sukhoi Su-35 yang diincar Kemenhan RI.
Foto: Sputnik/Maksim Blinov
Pesawat Sukhoi Su-35 yang diincar Kemenhan RI.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Hiru Muhammad*

Pertengahan bulan Oktober ini Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berkunjung ke AS, Prancis, Turki, Jerman dan Austria. Bagi para pemerhati masalah militer, kunjungan Prabowo ini memiliki makna strategis terlebih dilakukan setelah meningkatnya ketegangan di laut Natuna Utara menyusul klaim sepihak Cina beberapa waktu lalu. Menghangatnya suhu politik di kawasan kaya sumber alam itu, memaksa pemerintah Indonesia meningkatkan kesiagaan militernya dalam mengantisipasi perkembangan yang tidak diinginkan.

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya mereda dan menyedot banyak anggaran negara, pemerintah berupaya  mendatangkan alutsista dalam jumlah besar untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI. Hal tersebut juga terkait dengan program minimum essential force (MEF) yang sudah digulirkan sejak 2007 silam dan dibagi dalam tiga rencana strategis hingga 2024 mendatang. Dalam program tersebut selain menyangkut modernisasi, juga pengembangan industri alustista dalam negeri, litbang hingga transfer of technology (ToT). 

Kondisi laut Natuna utara yang belum sepenuhnya stabil, memaksa pemerintah mengambil jalan pintas sebagai alternatif pilihan dengan membeli perlengkapan tempur bekas. Sebenarnya membeli perlengkapan militer bekas pakai bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Akhir dekade 1970 Indonesia secara rahasia membeli pesawat skyhawk bekas pakai Israel, di akhir pemerintahan Presiden Barack Obama, Indonesia juga menerima hibah 24 pesawat tempur F 16 block 25 bekas pakai Angkatan Udara AS. Setelah mengalami rekondisi, pesawat tersebut memiliki kemampuan menjadi F 16 Block 52ID.

Indonesia juga pernah menerima hibah pesawat C 130 Hercules dari Australia beberapa tahun lalu.  Indonesia juga kini mengoperasikan enam buah kapal fregat kelas  Ahmad Yani yang merupakan bekas pakai dari kelas Van Speijk Angkatan Laut Belanda. Indonesia juga pernah membeli sejumlah kapal korvet dan landing ship tank (LST) eks Jerman Timur dari Jerman saat pemerintahan Presiden Soeharto.  Begitupula pembelian Tank Leopard 2A4 dan Marder bekas Angkatan Darat Jerman. Indonesia juga dikabarkan berencana membeli fregat kelas Bremen yang dalam waktu dekat akan dipensiunkan Angkatan Laut Jerman.

Kini beberapa perlengkapan bekas tersebut sudah purna tugas karena faktur usia. Sedangkan sejumlah perlengkapan perang yang masih digunakan telah mengalami rekondisi agar laik beroperasi di era peperangan modern saat ini.   Namun, Indonesia juga pernah mengalami nasib kurang beruntung setelah mengoperasikan pesawat tempur bekas. Musibah kecelakaan F-16 hibah terjadi pada 2015 silam. Hal itu memicu protes dari berbagai kalangan yang mendesak dihentikannya pembelian alutsista bekas pakai.

Kini, pemerintah dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Kebutuhan mendesak akan alutsista modern yang siap pakai untuk mengantisipasi gejolak di Natuna Utara yang dapat meletus setiap saat atau membeli perlengkapan baru yang perlu waktu tiga hingga empat tahun ke depan untuk siap operasional.  Apalagi membeli perlengkapan militer bekas juga perlu waktu karena harus melalui sejumlah proses administrasi dan teknis untuk penyesuaian dengan sistem komunikasi militer yang digunakan Indonesia.  Di sisi lain peraturan Kemhan nomor 17 tahun 2014 mewajibkan pembelian alutsista harus disertai dengan sistem ToT. Padahal dalam pembelian alusista bekas pakai tidak ada mekanisme ToT.

Selain itu, usia pakai alutsista yang relatif lebih pendek dan biaya perawatannya juga tidak ringan perlu dipertimbangkan. Pesawat tempur Eurofighter yang dioperasikan Austria bila jadi dibeli, Indonesia harus melakukan modernisasi agar kemampuannya setara dengan jet tempur Eurofighter yang dioperasikan AU Jerman, Inggris, Italia dan Spanyol. Kabarnya rencana pembelian Eurofighter bekas itu telah memicu kegaduhan politik parlemen Austria karena selama ini, negara tersebut hanya mengandalkan Eurofighter sebagai tulang punggung Angkatan udaranya. Austria hingga kini belum memutuskan siapa calon pengganti Eurofighter kelak.

Para teknisi darat juga perlu waktu untuk menyesuaikan kemampuan mereka dengan karakter jet tempur multi role andalan konsorsium Eropa ini, karena selama ini Indonesia lebih terbiasa mengoperasikan jet tempur asal AS maupun Rusia. Namun, tampaknya hal itu tidak terlalu sulit karena karakter jet tempur NATO dan AS yang dioperasikan TNI AU tidak terlalu memiliki banyak perbedaan.

Apabila membeli pesawat baru seperti F 35 Lightning II ataupun Sukhoi SU 35 juga tidaklah mudah. Selain harganya yang tidak murah, kedua pesawat canggih tersebut sarat dengan nuansa politis dan strategi pertahanan. Indonesia pernah mengalami nasib kurang beruntung ketika AS melakukan embargo suku cadang militer mereka menyusul kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Kebijakan tersebut menjadi pelajaran berharga pentingnya kemandirian industri alutsista yang kini sedang dikembangkan pemerintah.  Pembelian Sukhoi SU 35 juga dibayangi ancaman Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang diberlakukan pemerintah AS terhadap sejumlah negara yang membeli perlengkapan militer strategis asal Rusia. Kebijakan tidak fair dalam perdagangan ini dikecam Rusia dan sejumlah negara lainnya.

Sebenarnya, pemerintah AS telah menawarkan F-16 Viper Block 70/72 generasi terbaru, namun hal itu bukanlah menjadi prioritas bagi Indonesia. Barangkali hal itu terkait dengan rencana pembelian F 35 Lightning II oleh Singapura dan Australia yang sudah mendapat lampu hijau dari parlemen AS. Apalagi angkatan udara AS sendiri tidak berniat mengoperasikan seri F 16 karena mereka sudah beranjak ke pesawat generasi ke-5 yakni F 22 Raptor dan F 35 Lightning II. Di sisi lain, rencana Indonesia membelian Sukhoi-35 dikhawatirkan dapat mengganggu dominasi F 35 di kawasan Asia Pasifik.

Padahal selama ini F-16 merupakan salah satu pesawat tempur yang paling sukses di penjualan dan telah battle proven di berbagai medan pertempuran. Sejak diperkenalkan dekade 1970, pesawat produksi General Dynamics sebelum diakuisisi Lockeed Martin ini telah diproduksi sebanyak 4588 unit dan dioperasikan 28 negara. Pengembangan jet tempur multi peran ini juga terus dilakukan mulai dari Block 15 hingga Block 70/72 yang kini dilengkapi dengan radar APG 83- active electronically scanned array (AESA). Radar tersebut memungkinkan pilot menemukan dan menghancurkan sasaran yang tidak terlihat oleh pengelihatan visual atau beyond visual range (BVR). Keberhasilan F 16 di pasaran tidak terlepas dari kemampuan multi peran dalam menjalankan berbagai misi peperangan modern, ekonomis biaya operasionalnya dan suku cadang yang melimpah karena banyak negara yang mengoperasikannya.

Barangkali Dari berbagai jenis pesawat canggih tersebut, hanya Rafale yang mungkin tidak bermasalah secara politis. Meski harganya tidaklah murah, masih dikisaran Rp 1 triliun lebih perunitnya, tidak jauh berbeda dari Sukhoi SU 35 dan F 35 Linghning II. Rafale  juga telah battle proven di sejumlah medan laga di Timur Tengah meski sampai kini belum menemukan lawan yang sepadan. Perlengkapan militer asal Prancis sendiri banyak digunakan Indonesia, namun khusus pesawat tempur, Indonesia belum pernah menjadi operator pesawat tempur asal Prancis. Selain itu pembelian pesawat baru masih membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan.

Memang tidak mudah bagi pemerintah Indonesia untuk memutuskan alutsista mana yang harus dibeli dalam waktu dekat. Meski di sisi lain Natuna Utara dimasa mendatang diperkirakan potensi konfliknya meningkat. Semoga apapun keputusan yang diambil adalah yang terbaik dan tepat guna menjaga keuntuhan NKRI yang kita cintai.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement