Rabu 28 Oct 2020 10:27 WIB

Revisi UU Kejaksaan tak Ambil Kewenangan Institusi Lain

Jaksa Agung mengatakan revisi UU Kejaksaan tak ambil kewenangan lembaga lain.

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/6/2020). Rapat membahas pendalaman penanganan kasus-kasus terkini oleh Kejaksaan Agung, khususnya yang berkaitan dengan sekuritas dan investasi.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/6/2020). Rapat membahas pendalaman penanganan kasus-kasus terkini oleh Kejaksaan Agung, khususnya yang berkaitan dengan sekuritas dan investasi.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak menambah kewenangan maupun mengambil kewenangan institusi lain.

RUU itu adalah inisiatif dan usulan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun beberapa kalangan yang masih menyebutkan jika RUU ini adalah inisiatif dari Kejaksaan.

Baca Juga

“Sangat tidak tepat, Kejaksaan yang saat ini masih menjadi bagian dari Lembaga Eksekutif tentunya apabila hendak mengusulkan suatu undang-undang, maka jalur pengusulannya haruslah melewati Pemerintah,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin saat menghadiri webinar ‘Membedah RUU Kejaksaan’ yang dilaksanakan oleh Universitas Pakuan di Hotel Salak Heritage Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/10).

Burhanuddin menjelaskan, dengan adanya RUU tentang Perubahan Undang-Undang Kejaksaan yang telah diusulkan oleh DPR ini, dapat dimaknai jika Lembaga Legislatif memandang perlu segera adanya perbaikan kualitas sistem hukum yang lebih baik di Indonesia yang lebih modern dan lebih dapat mewujudkan rasa keadilan masyarakat. 

Menurut dia, Kejaksaan mendukung inisiatif dan usulan tersebut dan berharap RUU Perubahan ini akan dapat mengembalikan dan menyelaraskan segenap norma hukum terkait Kejaksaan yang tersebar di berbagai macam ketentuan, sesuai dengan sistematika hukum dan asas-asas hukum yang berlaku. 

“Dalam membedah RUU Kejaksaan, kita harus melihat secara utuh, holistik, dan komprehensif terhadap tugas dan wewenang Jaksa yang tidak sekedar tercantum dalam KUHAP saja, melainkan juga yang terncatum di berbagai macam aturan hukum dan asas-asas hukum yang lain, baik yang berlaku secara nasional maupun internasional,” katanya.

Dia menekankan, KUHAP hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa. Terlalu sempit pandangan jika melihat RUU Perubahan ini hanya dari sudut pandang KUHAP.

Dinamika hukum dan masyarakat serta perkembangan teknologi juga turut andil melatarbelakangi urgensi perlunya dilakukan perubahan atas UU Kejaksaan, kata Jaksa Agung. Jaksa Agung melihat, setidaknya terdapat 6 urgensi diperlukannya perubahan UU Kejaksaan. Pertama, dinamika yang berkembang di masyarakat dan kebutuhan hukum di masyarakat. Kedua, adanya beberapa judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU Kejaksaan. Ketiga, perkembangan hukum dalam hukum nasional, hukum internasional, dan doktrin terbaru.

Keempat, penerapan asas-asas hukum dan filosofis hukum. Kelimat, konvensi yang berlaku dan diakui secara universal dan terakhir, perkembangan teknologi dan informasi.

Jaksa Agung menambahkan, untuk lebih memahami konsep dalam RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan, sebaiknya terlebih dahulu membaca naskah akademik sebagai kajian ilmiah atas penyusunan RUU Perubahan ini. 

Di dalam naskah akademik telah terurai secara utuh dan komprehensif bagaimana arah dan dari mana munculnya berbagai kewenangan Kejaksaan di dalam RUU Perubahan ini.

Setidaknya terdapat 4 (empat) kesimpulan di dalam Naskah Akademik yang dapat kita pelajari dan pahami bersama atas penyusunan RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan ini yaitu:

“Pertama, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan tidak kembali ke HIR. RUU Perubahan ini justru cerminan hukum yang progesif karena telah mengakomodir beberapa ketentuan yang berlaku dan diakui secara universal dan internasional saat ini,” terang Jaksa Agung.

Kedua, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan telah sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku. Kata Jaksa Agung, asas ini menjadi landas pijak Kejaksaan dalam menyelenggarakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan fungsi penegakan hukum yang meliputi.

“Asas single prosecution system, asas dominus litis, asas oportunitas, asas independensi penuntutan dan asas perlindungan Jaksa,” tegas dia lagi.

Ketiga, tambah Jaksa Agung, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan tidak menambah wewenang maupun mengambil kewenangan instansi lain. RUU Perubahan ini hanya mengkompilasi ketentuan hukum dan asas-asas hukum yang sudah ada dan memberikan nomenklatur yang bukan hanya Nasional namun ekskalasi Internasional.

“Kita dapat mengambil beberapa contoh,” kata Jaksa Agung.

Misalnya dalam penyidikan lanjutan. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum dengan melakukan Penyidikan Lanjutan bukanlah hal yang baru, melainkan telah ada dan diatur dalam Pasal 39 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 

Ketentuan ini selaras dengan asas dominus litis dan sejalan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penyidikan lanjutan juga akan menjadi solusi konkrit atas bolak-balik dan hilangnya berkas perkara yang menimbulkan tidak selesainya penanganan perkara sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Keadilan hukum akan terwujud dengan proses penegakan hukum yang terkontrol.

Kemudian, pembentukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer. 

Kata Jaksa Agung, integrasi kebijakan penuntutan dalam struktur kelembagaan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer, pada hakikatnya merupakan mandat konstitusional. Dalam Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan bahwa Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik Indonesia.

Berikutnya soal kewenangan penyadapan. Sebagai aparat penegak hukum dan pemegang asas dominus litis, Kejaksaan memiliki banyak ruang hukum untuk dapat melakukan penyadapan.

Begitu juga soal Jaksa sebagai Penyidik, Penuntut Umum, dan Pengacara Negara Tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kewenangan utama Kejaksaan yang telah melekat sejak lama, dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman, yaitu Parket Generaal, Advocaat Generaal, dan Solicitor General.

Keempat, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan akan lebih menciptakan check and balance dalam sistem peradilan pidana. Perlu dipahami bersama jika Penyidik dan Penuntut Umum adalah satu kesatuan napas dalam proses penuntutan yang tidak dapat dipisahkan. Penyidikan dan Penuntutan bukanlah suatu proses check and balance. 

Dia mencontohkan, bercermin dari sistem hukum di dunia yaitu civil law system di Belanda dan common law system di Amerika Serikat, ruang lingkup penuntutan sudah dimulai dari tahapan pengumpulan alat-alat bukti, atau yang biasa disebut dengan penyidikan. 

Check and balance sejatinya berada di pengadilan yang merupakan ujung dari penyelesain perkara pidana dalam menguji kebenaran atas fakta-fakta hukum yang diajukan. Hasil pekerjaan Penyidik dan Penuntut Umum adalah satu kesatuan sebagai Premis Tesis yang akan di check and balace kan dengan bantahan dari Penasihat Hukum sebagai Premis Antitesis, kemudian Hakim lah yang akan memeriksa dan mengadilinya sebagai Sintesis.

"Adanya RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan merupakan sebuah momentum bagi Kejaksaan untuk berbuat lebih baik lagi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menegakan keadilan dan kebenaran, yang dilandasi kearifan silih asih, silih asah, serta silih asuh dalam mewujudkan terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,” kata ST Burhanuddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement