REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono membantah tudingan bahwa aparat bersikap represif dan mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap mereka yang berunjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Justru, pihak Kepolisian juga belajar HAM dan tentunya tidak mengabaikan HAM.
"Polisi juga diajarkan HAM, kebetulan kami dulu waktu saya AKP jadi instruktur HAM, didampingi dosen di (Universitas) Hasanuddin Makasssar," tegas Awi saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (26/10).
Menurut Awi, pihak tidak bersikap represif terhadap para demonstran. Karena, pihaknya dipastikan memegang protap, SOP, dan juga peraturan kapolri yang ada. Sehingga dalam penindakannya ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh para petugas. Hanya saja memang, Awi mengakui batas antara tindakan Kepolisian dengan HAM itu sangat tipis.
"Karena pelaku atau tersangka diduga melakukan perlawanan, akan dilakukan tindakan yang terukur, kalau sudah dipiting, diborgol, tapi dipukul itu pelanggaran," ungkap Awi.
Sebagai contoh, lanjut Awi, dalam pengamanan unjuk rasa, ketika sudah tidak kondusif maka pihaknya harus mengambil tindakan. Mulai menembakkan gas air mata, water canon, hingga menangkap para demonstran yang berbuat ricuh atau diduga provokator. Hal itu untuk mengurai massa, tapi pastinya tindakan itu masih dalam batasan-batasan.
"Intinya kita ujung-ujungnya adalah maintenance of public order. walaupun kita halau pendemo, masyarakat yang lain kan kita lindungi," papar Awi.
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil yang menamakan diri Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengecam tindakan brutal aparat kepolisian dalam penanganan aksi tolak Undang-Undang Cipta Kerja di berbagai wilayah Indonesia pada 6-8 dan 13 Oktober 2020. Koalisi mencatat, brutalitas terbaru terjadi di Kwitang, kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat pada malam hari (13/10) di mana anggota Polri secara serampangan menembakkan gas air mata kepada warga.
Padahal, menurut koalisi, tidak ada ancaman yang signifikan hingga harus menggunakan kekuatan tersebut. Akibatnya warga menjadi korban.
"Keseluruhan peristiwa ini memperlihatkan kepoisian mengutamakan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force), termasuk kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian," kata Koalisi sebagaimana disampaikan Peneliti KontraS Andi Muhammad Rezaldy melalui pesan singkatnya pada Republika, Rabu (14/10).
Koalisi mencatat, peristiwa-peristiwa tersebut menambah panjang deretan peristiwa kekerasan polisi dalam menangani demonstrasi. Tahun lalu, terjadi dalam aksi massa memprotes hasil pemilihan umum di bulan Mei 2019, dan juga aksi damai para mahasiswa dan pelajar dalam gerakan Reformasi Dikorupsi pada bulan September tahun lalu.
Dalam kedua peristiwa tersebut, tercatat ratusan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Antara lain penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindak kekerasan, hingga penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan peluru karet, peluru tajam dan gas air mata.
"Peristiwa kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan kepolisian terhadap aksi protes menolak UU Cipta Kerja adalah repetisi atas pola-pola brutalitas kepolisian pada peristiwa tersebut. Ini adalah sebuah kemunduran," papar Andi.