Kamis 22 Oct 2020 18:06 WIB

Alasan Eks Sekretaris MA Nurhadi tak Ajukan Eksepsi

Tim hukum ungkap alasan Nurhadi tak ajukan eksepsi atas dakwaan JPU KPK.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Layar menampilkan terdakwa kasus suap terhadap Sekretaris MA Nurhadi dan Rezky Herbiyono pada sidang dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (22/10/2020). Mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono didakwa Jaksa Penuntut Umum KPK telah menerima suap Rp45,7 miliar dan gratifikasi senilai Rp37,2 miliar terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Layar menampilkan terdakwa kasus suap terhadap Sekretaris MA Nurhadi dan Rezky Herbiyono pada sidang dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (22/10/2020). Mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono didakwa Jaksa Penuntut Umum KPK telah menerima suap Rp45,7 miliar dan gratifikasi senilai Rp37,2 miliar terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kuasa hukum eks Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, Maqdir Ismail  mengungkapkan alasan kliennya tidak mengajukan eksepsi atau nota keberatan. Menurut Maqdir, kliennya ingin lebih cepat membuktikan ketidakbenaran dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

"Beliau lebih mau cepat membuktikan ketidakbenaran dakwaan sehingga perkara cepat selesai. Karena memang fakta uraian dakwaan tidak didukung oleh keterangan saksi. Lebih banyak asumsi dari Penuntut Umum," ujar Maqdir kepada Republika.co.id, Kamis (22/10). 

Baca Juga

Maqdir menuturkan seperti dalam dakwaan pertama Jaksa Penuntut Umum terkait suap Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto, menurutnya suap terkait pengurusan perkara PK itu tidak mungkin dan tidak benar.

"Ketidakbenaran pertama, dari sisi angka yang suap saja tidak mungkin. Penggunaan uang dalam bentuk pecahan seperti yang didakwakan tidak masuk diakal. Tidak mungkin akan ada hitungan seperti ini," katanya.

Maqdir melanjutkan, kejanggalan lainnya, Hiendra Soenjoto sebagai seorang didakwa 'pemberi suap' belum pernah diperiksa oleh penyidik. Diketahui, hingga kini Hiendra masih menjadi buron KPK. Selain itu, kliennya di Mahkamah Agung bukanlah pihak yang berwenang memutus perkara. 

"Karena dia bukan Hakim dan bukan juga Panitera perkara yang mengurus perkara. Penerimaan uang yang disebut sebagai suap tersebut juga tidak pernah dilakukan oleh Pak Nurhadi," tegasnya.

Dengan demikian, kata Maqdir, maka dugaan suap yang dituliskan dalam dakwaan  hanyalah asumsi dan pendapat Jaksa yang tidak mengandung kebenaran dan tidak berdasarkan bukti. Maqdir menambahkan, hal yang tidak kalah  penting untuk diketahui bahwa  penerimaan uang oleh Rezky dari Hiendra, terjadi setelah  PK perkaranya Hiendra diputus dan dikalahkan oleh MA.

"Jadi tidak masuk diakal kalau dikatakan Hiendra menyuap perkara yang sudah diputus kalah, " ujarnya. 

Ihwal dakwaan kedua terkait gratifikasi, menurut Maqdir ada ketidaksinkronan keterangan saksi dan dakwaan penuntut umum. Ia mencontohkan, dalam dakwaan  Nurhadi disebut menerima uang sebasar Rp 2,4 miliar dari Handoko Sutjitro, melalui Rezky Herbiyono  dalam pengurusan perkara Perdata di PN Surabaya. Akan tetapi menurut keterangan Handoko Sutjitro, transaksi antara dia dengan Rezky Heriyono karena ada jual beli mobil. 

"Dari apa yang dikemukan di atas jelas bahwa dakwaan terhadap Pak Nurhadi ini telah disusun tidak berdasarkan fakta berdasarkan keterangan saksi. Dakwaan ini terlalu dipaksakan, " kata Maqdir. 

Nurhadi dan menantunya didakwa menerima suap Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto. Tak hanya suap, keduanya juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000 dari sejumlah pihak yang berperkara di lingkungan Pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement