REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menyampaikan, selama satu tahun kinerja pemerintahan Joko -Widodo - Ma'ruf Amin telah mengalami resesi atau penurusan demokrasi. Berdasarkan catatan KontraS di resesi demokrasi di Indonesia terjadi lantaran serangkaian keputusan, baik yang bersifat pernyataan langsung maupun dengan pembiaran atas praktik pembungkaman kebebasan sipil.
"Secara umum bahwa demokrasi Indonesia mengalami resesi atau penurunan, tidak hanya resesi ekonomi, resesi demokrasi pun terjadi di Indonesia," kata Fatia dalam konferensi pers daring, Senin (19/10).
Tak hanya itu, Kontras juga menilai, kebebasan berekspresi di Indonesia pun mengalami penurunan. Berdasarkan catatan Freedom House, sambung Fatia, kebebasan berekspresi di Indonesia juga mengalami penurunan. Penurunan kebebasan berekspresi itu terkait berbagai hal, seperti pengambilan kebijakan dan tindakan refresifitas aparat.
"Penurunan terhadap kondisi demokrasi ini sebenarnya disebabkan oleh beberapa aspek, diantaranya yaitu penyempitan ruang masyarakat sipil, pelibatan aparat keamanan pertahanan dan intelijen pada urusan-urusan sipil khususnya pada era pandemi seperti ini, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dan minimnya partisipasi publik dalam implementasi proses demokrasi, yang substansial yakni legislasi," ujar Fatia
Dia menilai, ruang aspirasi masyarakat sipil kini terus berkurang. Hal ini disebabkan tindakan represifitas aparat, baik secara langsung maupun daring.
"Represifitas aparat yang berlaku di lapangan juga semakin massif dengan pola yang makin beragam, tidak hanya terjadi secara offline atau secara langsung, tetapi juga secara daring. Banyak kali penyerangan penyerangan yang dilakukan oleh oleh aparat yang menyebabkan terjadinya indikasi pembungkaman publik," katanya.
Upaya pembungkaman terhadap kebebasan sipil tersebut menunjukkan kecenderungan otoritarianisme yang terlihat dari sejumlah pola, yakni pertama, terdapat penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan main yang demokratis. Kedua, penolakan legitimasi kepada oposisi yang ditunjukkan dengan melihat lawan politik sebagai ancaman eksistensial termasuk keamanan nasional.
Ketiga, memberikan toleransi atau bahkan dorongan untuk melakukan kekerasan dengan melibatkan aparat keamanan. Keempat, membatasi kebebasan sipil termasuk media.