Jumat 16 Oct 2020 15:51 WIB

Siswi SMK Ikut Uji Formil UU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi

Siswi SMK ikut mendaftarkan uji formil UU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Mahkamah Konstitusi (ilustrasi)
Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA
Mahkamah Konstitusi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menerima berkas pengajuan permohonan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam permohonan kali ini, terdapat seorang pemohon berstatus pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK).

"Tambah satu (permohonan yang masuk ke MK) kemarin," Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono kepada Republika.co.id, Jumat (16/10).

Baca Juga

Berdasarkan laman resmi MK, satu permohonan itu bernomor tanda terima 2039/PAN-PUU-ML/2020. Permohonan pengujian formil UU Cipter ketiga yang masuk ke MK itu diajukan oleh lima orang pemohon dengan satu orang kuasa pemohon, yakni Viktor Santoso Tandiasa.

Para pemohon itu, yakni mantan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, siswi SMK Negeri I Ngawi bernama Novita Widyana, mahasiswa Universitas Brawijaya bernama Elin Dian Sulistiyowati, mahasiswa Universitas Negeri Malang bernama Alin Septiana, dan mahasiswa STKIP Modern Ngawi bernama Ali Sujito.

Dalam berkas permohonan yang diunggah di laman resmi MK, para penggugat mengajukan Pengajuan Formil Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja dan belum disertakan nomor undang-undang. Dalam uji formil, yang dipermasalahkan adalah proses pembuatan undang-undang dan bukan isinya.

Dalam berkas itu pula disebutkan, Novita yang merupakan siswi SMK merasa mengalami kerugian konstitusional karena berpotensi menjadi PKWT tanpa ada harapan menjadi pekerja kontrak dengan waktu tidak tererntu (PKWTT). Itu berpotensi ia dapatkan saat dirinya lulus SMK dengan jurusan Administrasi dan Tata Kelola Perkantoran.

Kemudian untuk para mahasiswa yang menjadi pemohon dalam permohonan ini, ketiganya merupakan mahasiswa dengan jurusan yang terkait dengan pendidikan. Ketiganya disebut memiliki kerugian konstitusional atas keberlakuan UU Ciptaker karena sektor pendidikan tidak luput masuk dalam kluster yang diatur dalam UU Ciptaker.

Mereka merasa, UU Ciptaker mengkapitalisasi dunia pendidikan. Dalam berkas itu disebutkan, UU Ciptaker telah mereduksi tujuan pendidikan sebagaimana termaktub dalam konstitusi menjadi suatu aktivitas industri dan ekonomi, tidak lagi menjadi aktivitas peradaban.

Sebelumnya, MK telah menerima dua berkas pengajuan permohonan uji materi UU Ciptaker. Kendati naskah UU Ciptaker belum ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan diberi nomor, gugatan tetap dapat diproses MK.

"Ya enggak apa-apa, diproses saja sesuai prosedur dan hukum acara," ujar Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono, kepada Republika.co.id, Selasa (13/10).

Menurut Fajar, jika UU Ciptaker sudah ditandatangani presiden dan diberi nomor, pemohon dapat menyertakannya dalam proses perbaikan permohonan. "Sepanjang masih dalam rentang waktu perbaikan permohonan, bisa saja," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement