REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Uji Sukma Medianti, Febrianto Adi Saputro, Inas Widyanuratikah, Antara
Polres Metro Tangerang Kota memastikan, bahwa para pelajar yang melakukan aksi demonstrasi di wilayah Kota Tangerang akan tercatat dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Hal itu ditegaskan oleh Kapolres Metro Tangerang Kota, Komisaris Besar Polisi Sugeng Hariyanto.
"Mereka masuk ke database polisi, dan menjadi catatan tersendiri saat mengurus SKCK," kata Sugeng di Mapolres Metro Tangerang Kota, Rabu (14/10).
Sugeng menjelaskan, catatan tersebut bisa memberi pengaruh bagi para pelajar yang terlibat demo ke depannya, misalnya dalam mencari pekerjaan akan ada catatan dari pihak kepolisian yang bisa menjadi pertimbangan perusahaan yang dituju. Oleh sebab itu, dia mengimbau masyarakat, terutama para pelajar, untuk tidak terlibat dalam aksi demonstrasi semacamnya.
"Makanya saya mengimbau pelajar tolong dipikirkan kembali apa yang dilakukan menjadi catatan polisi," terang Sugeng.
Diketahui, enam orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus demonstrasi anarkistis tolak UU Cipta Kerja di Jalan Daan Mogot, Tangerang, yang terjadi pada Kamis (8/10) lalu. Empat di antaranya berstatus sebagai pelajar.
"Dari enam tersangka ini empat di antaranya statusnya pelajar, satu buruh, dan satu pengangguran," kata Sugeng.
Berbeda dengan Polres Tangerang, Polres Metro Bekasi Kota tidak mencatat pelajar terlibat demo ke dalam SKCK. Kapolres Metro Bekasi Kota, Komisaris Besar Polisi Wijonarko, mengatakan, mereka yang diamankan tidak melakukan tindak pidana, sehingga pihak kepolisian hanya melakukan pembinaan saja.
“Ini kan masih tahap ya belum ada kegiatan pidana ya. Oleh karena itu, mereka sifatnya pembinaan,” kata Wijonarko, di Aula Kapolres Metro Bekasi Kota, Rabu (14/10).
Wijonarko menerangkan, mereka yang dicatat dalam SKCK adalah yang terbukti melakukan tindak pidana. Namun, mereka bisa saja dicatat apabila terbukti mengulangi aksinya.
“Manakala mengulangi lagi bahkan melakukan tindak pidana itu akan kita proses dan itu akan tercatat dalam catatan kepolisian,” ujar dia.
In Picture: Aksi Tolak UU Omnibus Law Terus Berlanjut di Berbagai Kota
Para pelajar diamankan di dua titik pemeriksaan yaitu di Stasiun Bekasi dan Jalan Sultan Agung, Medan Satria pada Selasa (12/10). Saat petugas Polres Metro Bekasi Kota sedang melaksanakan penyekatan di wilayah perbatasan Cakung Jakarta Timur-Kota Bekasi, rombongan pelajar melintas dengan menggunakan mobil bak terbuka.
Kemudian, mobil tersebut dihentikan oleh petugas untuk dibawa ke Polres Metro Bekasi Kota dan diintrogasi dan pendataan. Setelah didata semua pelajar yang diamankan dikirim ke Mako Polrestro Bekasi Kota untuk dilakukan pembinaan.
Pihak kepolisian, akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Bekasi dalam hal ini, dinas pendidikan untuk mencari solusinya.
“Kita akan berkoordinasi dengan Pemkot Bekasi dalam hal ini dinas pendidikan bagaimana solusinya. Supaya ke depan tidak ada lagi aktivitas aksi unjuk rasa yang melibatkan para pelajar,” terangnya.
Polda Metro Jaya juga menyatakan, tidak akan memberi catatan apa pun ke dalam SKCK bagi pelajar yang diamankan oleh petugas terkait unjuk rasa menolak UU Ciptaker.
"SKCK itu tidak ada hubungannya," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus saat dikonfirmasi, Kamis (15/10).
Yusri menjelaskan, catatan yang akan disertakan ke dalam SKCK harus berdasarkan vonis pengadilan atas tindak kejahatan yang dilakukan seseorang. Sedangkan seluruh pelajar yang pernah diamankan oleh Polda Metro Jaya dalam ricuh unjuk rasa beberapa waktu lalu hanya diminta membuat surat pernyataan dan harus dijemput orang tuanya.
"Kecuali dia yang memang divonis, mereka yang melakukan kejahatan nanti akan tercatat di SKCK itu, tapi ini kan belum," tambahnya.
Polda Metro Jaya bersama dengan jajaran Polres di wilayah hukumnnya mengamankan sebanyak 1.377 pemuda dan pelajar terkait unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja pada 13 Oktober 2020. Kemudian saat petugas melakukan pendataan dan pemeriksaan terhadap para pemuda tersebut, diketahui bahwa sekitar 80 persen dari 1.377 orang diamankan pihak kepolisian masih berstatus pelajar. Sebanyak lima orang yang diamankan tersebut bahkan diketahui sebagai pelajar SD.
Polisi kemudian memulangkan pemuda dan pelajar yang diamankan dalam unjuk rasa menolak UU Ciptaker yang berujung ricuh pada Selasa. Namun, Polda Metro Jaya mewajibkan orang tua untuk datang menjemput anaknya dan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Dikecam LBH
Direktur Lembaga Badan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengecam keras langkah kepolisian yang mengancam mempersulit penerbitan SKCK bagi pelajar yang mengikuti aksi unjuk rasa penolakan omnibus law UU Ciptaker. Menurutnya, ancaman tersebut bentuk kesewenang-wenangan aparat dan pejabat publik serta merupakan pelanggaran hak warga, bentuk penghalangan hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
"Langkah ini semakin menguatkan dugaan Kepolisian tidak independen dalam merespon aksi unjuk rasa masyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja pasca terbitnya telegram Polri bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020," kata Arif dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Kamis (15/10).
LBH Jakarta mengingatkan Polri untuk tidak jadi alat represi pemerintah untuk menghalang-halangi aksi unjuk rasa warga yang menolak UU Ciptaker. Arif menyayangkan jika hukum dan aparat penegak hukum bekerja bukan berdasarkan aturan hukum tetapi berdasarkan kemauan penguasa.
"Hukum hanya akan menjadi alat menindas rakyat bukan untuk melindungi rakyat," ujarnya.
Arif menjelaskan kegiatan unjuk rasa ataupun demonstrasi dalam berbagai bentuk, termasuk menolak UU Ciptaker, merupakan kegiatan mengemukakan pendapat dan ekspresi di muka umum yang dilindungi dan dijamin oleh negara berdasarkan Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Menurutnya, segala bentuk upaya penghalang-halangan kegiatan mengemukakan berpendapat di muka umum, berekspresi, maupun demonstrasi yang dilakukan oleh aparat negara dan Pemerintah, merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum, bersifat maladministratif dan diskriminatif, serta melanggar hak asasi manusia dan hak anak.
"Semestinya baik aparatur Pemerintah Negara maupun aparat penegak hukum seperti Kepolisian RI terikat pada aturan hukum yang ada, dan khususnya ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dimana penyelenggaraan pemerintahan harus mendasarkan diri pada prinsip kepastian hukum, perlindungan HAM, asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta bersifat non-diskriminatif dan imparsial," kata Arif.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mengingatkan, agar anak-anak yang terlibat dalam aksi demonstrasi tetap mendapatkan haknya. KPAI mendorong agar bagi anak-anak yang dicatat di kepolisian harus diperlakukan dengan baik.
"Menghindari praktik kekerasan, penganiayaan, intimidasi, misalnya ancaman tidak diberikan SKCK, yang kontra produktif dengan prinsip pembinaan dalam aspek sanksi yang mendidik," kata Komisioner KPAI, Jasra Putra, dalam telekonferensi, Kamis (15/10).
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) Nahar, mengatakan pencatatan di kepolisian memang perlu dilakukan. Hal yang wajar jika anak yang terlibat aksi demonstrasi kemudian diamankan, dicatat identitasnya.
Namun, Nahar menegaskan jangan sampai pencatatan itu menjadi melekat pada anak hingga mengganggu kehidupannya di masa depan. "Jangan sampai pencatatan ini jadi stigma dan labelisasi sehingga menjadikan anak-anak ini tidak punya kesempatan untuk melanjutkan kehidupannya tanpa catatan itu," kata dia.
Anggota Komisi III DPR Habiburrokhman mendukung langkah kepolisian memberikan catatan khusus di SKCK bagi pelajar yang mengikuti aksi unjuk rasa penolakan omnibus law UU Ciptaker. Namun, menurutnya kebijakan tersebut perlu diberlakukan hanya kepada siswa yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.
"Mereka yang melakukan pelanggaran hukum seperti menyerang petugas dan merusak fasilitas umum memang harus ada sanksi hukum dan administrasi seperti pemberian catatan khusus dalam SKCK," kata Habiburrokhman kepada Republika, Kamis (15/10).
Sedangkan pelajar yang hanya mengikuti demo tanpa melanggar hukum menurutnya tentu tidak bisa dipersulit dalam penerbitan SKCK. Menurutnya, penegasan aturan tersebut perlu dilakukan untuk hindari asumsi bahwa Polri seolah-olah menjadi alat represi pemerintah untuk menghalang-halangi aksi unjuk rasa warga yang menolak UU Cipta Kerja
"Ikut demo adalah bagian dari hak untuk sampaikan pendapat yang dijamin konstitusi," ujarnya.