REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) wilayah Jabodetabek-Banten akan kembali melakukan aksi penolakan UU Cipta Kerja (Ciptaker). BEM SI akan menggelar aksi turun ke jalan pada Jumat (16/10) pukul 13.00 WIB.
BEM SI menilai ada upaya pemerintah 'mencuci otak' rakyat agar berhenti menolak UU Ciptaker. Salah satunya melalui surat imbauan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang dikeluarkan pada 9 Oktober 2020 lalu.
"Pemerintah mencoba mengintervensi gerakan mahasiswa dengan mengeluarkan surat nomor 1035/E/KM/2020 yang berisi tentang imbauan pembelajaran secara daring dan sosialisasi UU Cipta Kerja," kata Koordinator Wilayah BEM se-Jabodetabek-Banten, Bagas Maropindra, dalam keterangannya, Jumat.
BEM SI juga menyoroti berbagai tindakan represif dari aparat kepolisian kepada massa aksi yang menolak UU Ciptaker. Berdasarkan hal ini, mosi tidak percaya akan kembali disampaikan dan akan dilakukan dengan aksi damai.
Adapun tuntutan dan pernyataan sikap Aliansi BEM SI antara lain, mendesak presiden mengeluarkan PERPPU demo mencabut UU Cipta kerja yang telah disahkan Senin (5/10) lalu. Selain itu BEM SI juga mengecam tindakan pemerintah yang berusaha mengintervensi gerakan dan suara rakyat atas penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
Bagas juga mengatakan mahasiswa akan terus menyampaikan penolakan. "Mengajak mahasiswa seluruh Indonesia bersatu untuk terus menyampaikan penolakan atas UU Cipta Kerja hingga UU Cipta Kerja dicabut dan dibatalkan," kata dia lagi.
Sebelumnya, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menyoroti imbauan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) agar mahasiswa tak ikut demonstrasi. Tak hanya itu, Kemendikbud juga mengimbau agar kampus mensosialisasikan UU Ciptaker.
"Imbauan agar kampus ikut mensosialisasikan UU Cipta Kerja justru mengandung kontradiksi yang mendalam," nilai Satriwan Salim dalam keterangannya, Senin (12/10).
Sebab, lanjut Satriwan, draf final UU Ciptaker tak bisa diakses oleh kalangan akademisi, aktivis masyarakat sipil, bahkan oleh publik umumnya hingga sekarang. Apalagi ditambah keterangan DPR RI jika draf tersebut belum final.
"Lantas yang disahkan ketika sidang paripurna itu apa? Terus apanya yang harus disosialisasikan oleh universitas," sindir Satriwan.
Apalagi, kata Satriwan Kemdikbud sendiri sudah membuat program "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka" bahkan jadi slogan di mana-mana. Surat Kemendikbud ini merupakan bentuk 'intervensi' nyata Kemendikbud, sehingga menjadikan kampus tidak lagi merdeka.
Akhirnya kampus Merdeka tak ubahnya sekadar jargon kosong, di saat Kemdikbud mencabut kemerdekaan akademik universitas sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan nalar kritis.
"Ini adalah bukti bahwa kebijakan Kemdikbud kontradiktif. Di satu sisi Kemdikbud membuat kebijakan Kampus Merdeka, namun di sisi lain memasung kemerdekaan kampus dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai wujud Kampus Merdeka," terangnya.