REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono membenarkan Polri telah menangkap delapan orang terkait hasutan unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dua di antaranya adalah petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat.
"Tanggal 13 Oktober 2020 ada dua kali penangkapan, yang pertama ditangkap atas nama SG (Syahganda Nainggolan) pada pukul 04.00 WIB, kemudian yang kedua saudara JH (Jumhur Hidayat) ditangkap di Cipete, Jakarta Selatan sekitar pukul 05.00 WIB," jelas Awi dalam konferensi pers di Kompleks Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (13/10)
Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat menjabat sebagai anggota Komite Eksekutif KAMI. Selain kedua orang itu, polisi juga menangkap Anton Permana (AP) yang merupakan deklarator KAMI ditangkap di daerah Rawamangun, Jakarta Timur pada tanggal 12 Oktober 2020 lalu. Anton pernah menjabat sebagai salah satu pengurus di Forum Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri ABRI (FKPPI) Kota Batam.
"Pada tanggal 12 Oktober 2020 telah ditangkap atas nama AP ditangkap oleh Tim Siber Bareskrim Polri antara 00.00 WIB sampai dengan 02.00 di Rumah saudaranya di Rawa Mangun, Jakarta Timur," paparnya.
Selain itu, kata Awi, lima anggota KAMI lainnya yang ditangkap dalam waktu yang berbeda itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Kelima Khairil Amri selaku Ketua KAMI cabang Medan, Devi, Juliana dan Wahyu Rasari Putri.
Sementara satu tersangka lagi berasal dari Ormas KAMI Pusat atas nama Kingkin Adinda. Menurut Awi, tim penyidik mempunyai alat bukti yang cukup untuk menetapkan kelima orang tersebut sebagai tersangka, salah satu alat buktinya adalah bukti percakapan dan koordinasi di salah satu grup Whatsapp.
"Jadi total ada lima orang yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara tiga lainnya masih berstatus sebagai terperiksa karena belum 1x24 jam," tutur Awi.
Selanjutnya, untuk kelima tersangka dijerat dengan pasal ujaran kebencian ataupun permusuhan. Hal itu termaktub dalam pasal 45 A ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2014 tentang ITE dan atau pasal 160 KUHP. Dalam beleid pasal tersebut, seluruh tersangka terancam kurungan penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
"Mereka dipersangkakan setiap orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu ataupun kelompok tertentu didasarkan atas SARA dan atau penghasutan," tutup Awi.