Selasa 13 Oct 2020 05:07 WIB

Umat Islam dan UU Omnibus Cipta Kerja yang Konyol

UU Omnibus Konyol dan hanya bela kepentingan pemodal

Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berbicara sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan ( Perppu Ormas) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (6/9).
Foto:

Mengagumkan betul, kendati naskah belum selesai dikerjakan, dibereskan, Presiden dan menteri-menteri yang habis-habis mempromosi keunggulan ini telah membacakan isinya. Hingga tanggal 10 Oktober, DPR tak mampu memenuhi permintaan PKS untuk memperoleh naskah lengkapnya. 

Bernegara dengan cara seperti ini? Demi investasi, sendi-sendi konstitusi dihancurkan saja? Begitukah cara Presiden dan DPR menyerahkan bangsa ini ke dalam kontrol investor?  

Semakin banyak perusahaan berinvestasi, semakin banyak lapangan kerja tercipta merupakan nalar mekanis liberal, yang sejak tahun 1980-an telah ditelan dan menjadi fundasi politik kebijakan investasi China. China dengan fundasi politik itu, akhirnya dikepung investor-investor Amerika. Itu China. Tidak ada soal. Politik itu juga tidak menjadi soal di Amerika. 

Tetapi itu membuktikan, disisi lain investor selalu bergerak ke negara-negara yang akrab dengan mereka. Birokrasi perizinan mudah semudah mungkin, kontrol terhadap buruh, upah murah, tarif pajak rendah, pemerintah harus mati-matian pro mereka, dan lainnya.

Itu tabiat investor, dimanapun. Dalam tabiatnya itu, korporasi hanya menempatkan ”untung” dijantung visi dan misinya. Kualitas lingkungan hidup, harga diri pekerja, dan lainnya, tidak. Korporasi yang telah menjadi subyek hukum itu sejak ujung abad ke-19, menempuh semua cara sehitam apapun demi keuntungan.  

Korporasi didunia selalu berlindung, meminta pemerintah turun tangan begitu mereka mengalami kemerosotan keuntungan. Proteksi tarif dan lainnya selalu diminta kepada pemerintah. Alasannya macam-macam. Praktis tidak ada yang benar-benar bebas. Merkantilistik menjadi citri mereka. Itu tabiat bawaan korporasi dimanapun di dunia. 

Korporasi tidak terlahir untuk mematuhi konstitusi, patuh pada panggilan kemanusiaan. Tidak. Korporasi tidak pernah lepas dari sifat bawaannya sebagai mesin “cari untung, untung dan untung.” Tabiat mereka dalam bekerja sepenuhnya otoktrat. Diskusi hanya sejauh diminta dan diizinkan oleh pemilik modal. 

Cerdas dalam menemukan dan menggunakan semua cara hitam, itulah korporasi dunia. Ini telah dipraktekan sejak East India Company, Royal Virginia Company, Vereenigde Oostindische Compagnie; VOC. Manusia pun diperjualbelikan, dijadikan barang dagangan. Itulah mereka. Tabiat ini tidak berubah hingga sekarang. 

Hukum menjadi mainan termudah mereka. Hukum dipakai untuk membuka restriksi, domestik dan global untuk melipatgandakan keuntungan, melipatgandakan kontrol mereka atas pasar utama, dan asset. Itulah mereka. Cerdas. Kecerdasannya merekayasa persetujuan rakyat atas keputusan pemerintah, tak tertandingi. 

Nama dan cakupan Omnibus ini memastikan  bangsa ini dibawah Presiden Jokowi dan DPR sekarang telah berada dua langkah didepan Amerika. Amerika, yang jago dalam semua urusan itu tidak mampu bikin UU dengan ribuan pasal, lalu dinamakan Omnibus.

Omnibus mereka hanya terbatas pada trade dan tariff. Namanya Ominibus Trade and Competitivenes Act 1988, sebagai respon atas putaran Uruguai. Itu saja. Tak lebih. Jumlah pasalnya tak segila pasal-pasal dalam Omnibus Cipta kerja ini. Nalar mereka cukup sehat, walau kalah sehat dari nalar pembentuk UU Omnibus ini.  

Dilihat dari sudut UUD 1945 dan sistem hukum Indonesia, UU Omnibus sepenuhnya bermasalah. Apakah UU ini dapat dikualilifikasi sebagai UU baru untuk urusan yang sama, misalnya buruh, agraria dan pajak?  Bila dikualifikasi sebagai UU baru untuk masalah yang sama, maka pemerintah akan membentengi dirinya dengan asas Lex posteriori derogat legi priori. 

Konsekuensinya masalah-masalah yang terjadi pada isu-isu yang dicontohkan diatas akan diselesaikan berdasarkan UU Omnibus ini. Logiskah? Tidak. Sama sekali tidak. Mengapa? UU ini tidak dapat disejeniskan dengan UU yang eksisting, misalnya UU ketenegakerjaan, Pajak dan lainnya itu.  

Apa argumennya? Hal yang diatur dalam UU Omnibus, yang sangat konyol ini, tidak tunggal. UU ini bersifat general. Lain soalnya bila UU Omnibus itu mengatur penghapusan semua pasal dalam UU eksisting. Dan ini tidak mungkin. Teknis perumusan tidak memungkinkan. Mau berapa puluh pasal yang dirumuskan untuk tujuan itu? 

Bila barir ini disadari pemerintah, lalu pemerintah menggunakan metode lain, misalnya memperlakukan UU sebagai UU khusus, sehingga berlaku prinsip Lex specialis derogate legi general, juga bermasalah. Mengapa? UU Omnibus mengatur begitu banyak hal. 

Semua hal yang diatur di dalamnya tidak spesifik dalam sifat dan bentuknya. Sementara ilmu hukum mengharuskan prinsip hukum khusus mengenyampingkan hukum umum, berlaku dalam konteks terdapat kesamaan sifat pada hukum baru dan hukum yang telah ada. 

Apakah kerja, sama sifatnya dengan menciptakan lapangan kerja? Apakah UU Ketenagakerjaan sama dan setara sifat hukumnya dengan UU Omnibus Cipta Kerja? Dalam ilmu hukum dikenal konsep genus dan spesis. Ini sebuah konsep penalaran dalam proses interpretasi. 

Apakah bekerja merupakan genus yang darinya lahir spesis yang namanya sertifikasi halal, atau larangan membawa alat penebang pohon dihutan? Sertifikasi halal dapat dikonsepkan sebagai genus tertinggi (Summum genus), yang melahirkan specis (jenis bawaan) bersifat harus ada berupa lebel halal. Itu satu hal. 

Hal lain sekadar ilusrasi, apakah penyederhanaan AMDAL dalam UU Omnibus, merupakan spesis AMDAL dalam UU Lingkungan? Apakah UU lingkungan yang merupakan genus atau UU Omnibus Cipta Kerja yang merupakan genus? Dari dua UU ini,  mana yang merupakan genus dan mana yang merupakan spesis? 

Relasi dua UU diakui Sekertaris Kemenko Perekonomian. AMDAL tetap ada, katanya. Tetapi izin lingkungan diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha untuk meringkas sistem perizinan dan memperkuat penegakan hukum. Mekanisme ini berbeda dengan mekanisme pada UU lama. Pada UU lama, izin lingkungan terpisah dari perizinan berusaha (CNN Indonesia, com, 9/10/2020). Hebat. 

Tetapi kekonyolan penalaran terasa muncuil dari cara pandang itu. Dimana letak kekonyolannya? Apakah izin lingkungan itu bukan AMDAL atau tidak didahului AMDAL? Jalan pikiran itu mungkin dapat dipakai untuk usaha mikro dan super mikro atau mikro kecil. 

Masalah logis tukang gorengan yang jualan dengan gerobak dorong itu mau dibebani izin usaha? Tukang jualan nasi goreng dengan gerobak dorongnya mau dibebani izin juga? Yang benar aja. Kenyataannya usaha jenis tidak pernah dibebani izin. Tetapi pemerintah dan DPR cerdas. Soal ini digemakan sebagai keunggulan Ominibus.  Konyol betul mengunggulkan sesuatu artifisial. 

Bagaimana dengan usaha pertambangan? Bila prosedur perolehan jenis usaha semuanya sama sebagaimana pernyataan di atas, maka soalnya bagaimana cara memeriksa lingkungan fisik dan sosial untuk usaha pertambangan? 

Kalau masih harus dilakukan pemeriksaan lingkungan fisik usaha pertambangan, soalnya dimana letak penyederhanaan proses pemberian izin usaha? Apa nilai dari konsep yang disifatkan sebagai penyederhanaan proses perizinan itu? Lucu dan konyol betul nalar dibalik konsep ini. 

Ketidak-matangan konsep pemberian izin terlihat juga pada konsep penyederhanaan kelambagaan pemberian izin usaha dibidang perikanan, setidaknya penangkapan ikan. Presiden menyatakan, dalam esensinya, UU Omnibus ini memangkas kelembagaan pemberian izin ini. Tidak lagi sampai ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, KKP (CNN Indonesia.com, 9/10/2020). Bagus.

Tahukah nalar dibalik teks itu? Korporasi-korporasi besar, dalam dan luar negeri, yang pembentukannya tak diikatkan lagi dengan syarat modal minimum, membanjiri daerah. Korporasi bisa langsung masuk ke daerah dengan atau tanpa menggunakan nama orang di daerah sebagai pengusaha. Akan muncul pengusaha Baba-Ali.

Baba pemilik modal, tetapi Ali yang disajikan secara simbolik dalam semua dokumen hukum sebagai pemiliknya. Lapangan kerja tersedia dan orang daerah menjadi tenaga kerja, alias buruh. Cerdas betul konsep ini. Top marco top siasat korporatisasi ini.  

Siapa saja yang bisa bangun sekolah di Kawasan Ekonomi Khusus, KEK?  Bukankah KEK itu kawasan usaha khusus? Siapa saja bisa masuk kesini, tentu harus punya uang besar. Soalnya apakah mendirikan sekolah itu juga bisnis? Kalau ya, bukankah itu telah berlangsung? Karena telah berlangsung, untuk apa ketentuan itu? 

Ketentuan itu tidak bergambar lain kecuali tipikal korporasi kapitalis membuka jalan hukum untuk merangsek masuk pada usaha pendidikan di daerah KEK. Korporasi bermodal mayoritas asing, dibenarkan UU sialan ini berusaha dibidang pendidikan di kawasan khusus itu. Hebat. Itu soal yang tak terlihat dari teks yang terlihat manis dan mengagumkan itu. 

Memusingkan, itulah yang akan dihadapi, dialami  setiap orang yang ingin mengenali secara detail UU ini. Apalagi para yuris yang tidak akan berhenti mengenal hukum hanya berdasarkan teks. Yuris akan pergi ke balik teks hukum. Para yuris tahu teks memiliki konsekuensi tak tertlihat, tak dikehendaki, unintended consequences.  

Pergi ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU ini? Itu dagelan termurah nan konyol. Siapa yang mau menguji ribuan pasal UU Omnibus ini? Berapa ratus permohonan dibuat untuk diajukan ke MK? Berapa tahun MK akan menyidangkannya? Ke MK justru menjadi langkah konyol sekonyol-konyolnya. *** 

 

Jakarta, 10 Oktober 2020.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement