Senin 12 Oct 2020 05:43 WIB

Halte Dibakar Pendemo, Negara Dibakar 'Buzzer'

Di tengah pro kontra UU Cipta Kerja, ulah buzzer memperumit situasi.

Bara api dan asap mengepul dari sisa bangunan halte Transjakarta di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (8/10). Halte yang menjadi akses ke stasiun MRT ini hangus dibakar massa yang dipukul mundur dari area bundaran Bank Indonesia.
Foto:

Di Tunisia Desember 2010, seroang pedagang bernama Mohamed Bouazizi memantik api yang mematikan sekaligus membangun. Pedagang kaki lima itu memantik api ke tubuhnya sendiri karena frustrasi. Api itu mematikan hidupnya. Namun menghidupkan gerakan revolusi politik. Tak hanya di Tunisia tapi ke seluruh Arab. Sejak itu Arab dilanda Arab Spring yang membangun sekaligus merusak peradaban di Timur Tengah.

Begitulah posisi api yang begitu ambigu di tangan manusia. Dari sisi bahasa, frasa yang terkait 'api' juga begitu relatif. Bisa dimaknai positif atau negatif tergantung kata yang menyertainya. Ini seperti frasa 'api semangat' dan 'api kebencian'. Walhasil secara harfiah dan istilah  posisi api tetap netral. Lagi-lagi tergantung manusia yang memaknainya.

photo
Ilustrasi Media Sosial - (pixabay)

Memaknai api di pembakaran Halte Transjakarta sederhana. Pembakaran jelas menimbulkan kerugian bagi rakyat. Pembakaran jelas terencana dan merusak. Membawa botol yang diisi bensin dan dilengkapi sumbu, tentu merupakan perkerjaan yang membutuhkan persiapan. Membutuhkan keahlian pula untuk mengeksekusinya. Kini tugas polisi untuk mengusut pelaku dan motifnya.

Namun urusan api halte masih terlalu kecil efeknya bagi negara. Kobaran api di halte Transjakarta tak seberapa jika dibandingkan api kebencian yang kini merajalela. Api kebecian yang dipantik buzzer-buzzer di sosial media.

Api kebencian jadi makanan sehari-hari di media sosial. Sehari-hari kita melihat narasi-narasi penghinaan, rasa tidak hormat, dan pelecehan terus dipantik.

Tingkah polah buzzer semakin tak terkendali. Mereka tak tersentuh dalam produksi narasi untuk membunuh karakter, menebar umpatan, hingga pelecehan. Usaha untuk menghentikan provokasi para buzzer berulang kali dilakukan. Berulang kali pula usaha berupa laporan ke polisi jalan di tempat.

Di tengah pro kontra UU Cipta Kerja, ulah buzzer memperumit situasi. Buzzer justru semakin membentuk antipati. Tokoh sipil yang mengkritisi dan berseberangan tak segan dibunuh karakternya. Kelompok yang berseberangan dipermalukan dengan hinaan.

Sehingga api kebencian pun semakin berkobar. Tak pelak atmosfer panas terus terpelihara. Rasanya api di halte Transjakarta terlalu kecil untuk membakar satu negara. Tapi api kebencian yang dipantik buzzer-buzzer sanggup melakukannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement