Rabu 07 Oct 2020 05:52 WIB

Dijegalnya Demo Buruh Vs Rencana Aksi Besar ke Istana Negara

Surat Telegram Kapolri memerintahkan jajarannya untuk tak berikan izin demo buruh.

Pekerja beraktivitas di kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (6/10). Sejumlah serikat buruh melakukan aksi mogok kerja nasional yang berlangsung tanggal 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja yang dinilai akan berdampak pada lingkungan dan pekerja. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pekerja beraktivitas di kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (6/10). Sejumlah serikat buruh melakukan aksi mogok kerja nasional yang berlangsung tanggal 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja yang dinilai akan berdampak pada lingkungan dan pekerja. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Ali Mansur, Febrianto Adi Saputro, Eva Rianti

Baca Juga

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memantau aksi unjuk rasa menentang Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) dijegal aparat kepolisian. Hal ini terjadi pasca keluarnya Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020.

"Dari pantauan kami, ada banyak penjegalan aksi di berbagai daerah," kata Direktur YLBHI Asfinawati pada Republika, Selasa (6/10).

Oleh karena itu, dibentuklah Tim Advokasi untuk Demokrasi karena ancaman kriminalisasi terhadap peserta aksi terbuka lebar. Bahkan rencana demo dan mogok besar-besaran pada 6-8 Oktober disikapi keras kepolisian.

"Pandemi Covid-19 menjadi alasan kepolisian menggunakan kekuatan berlebihan," sebut Asfinawati.

Asfinawati menekankan, aksi yang dilakukan rakyat sebenarnya bentuk ekspresi kemarahan atas pengesahan UU Ciptaker.

"Rakyat terpaksa unjuk rasa karena pemerintah dan DPR tidak mendengarkan keluhannya," ujar Asfinawati.

Asfinawati mengingatkan Polri adalah alat negara bukan alat pemerintah. Selain itu, Kepolisian dalam tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

"Kami mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk tidak mengganggu netralitas serta indenpendensi yang seharusnya diterapkan Polri. Kami juga meminta Presiden dan Kapolri menghormati UUD 1945 & amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk pendapat di muka umum," ucapnya.

Diketahui, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020. Isinya soal antisipasi kepolisian atas unjuk rasa dan pemantauan situasi berpotensi konflik dalam rangkaian pengesahan Rancangan UU Ciptaker.

Ada 12 poin yang diatur dalam surat itu, beberapa di antaranya seperti pengerahan fungsi intelijen dan deteksi dini terhadap elemen buruh dan masyarakat yang berencana berdemonstrasi dan mogok nasional; melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi; serta tidak memberikan izin kepada pengunjuk rasa untuk berdemonstrasi maupun keramaian lainnya.

Poin lainnya menginstruksikan perihal melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. Surat telegram itu diklaim demi menjaga kondusifitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di saat pandemi.

Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono menegaskan surat telegram rahasia (TR) merupakan arahan Mabes Polri kepada kesatuan wilayah dalam menghadapi demo dan juga rencana aksi mogok kerja buruh pada tanggal 6-9 Oktober 2020. Oleh karena itu tidak benar jika telegram rahasia Kapolri Idham Azis tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan Polri.

"Seluruh yang disampaikan dalam TR tersebut merupakan arahan agar pemangku kepentingan di wilayah tidak ada ragu-ragu dalam mengambil tindakan di lapangan,mulai dari preventif atau pencegahan, deteksi dini atau cegah dini agar tidak terjadi anarkistis dan belajar dari pengalaman sebelumnya," tegas Awi dalam konferensi pers di kompleks Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (6/10).

Kendati demikian, kata Awi, Polda tetap diperintahkan untuk membuat rencana pengamanan jika terjadi demo.

"Walaupun dalam surat tersebut tertulis tidak menerbitkan STTP, hanya saja pada tupoksinya Polri tetap akan melaksanakan pelayanan, perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat, penegakan hukum merupakan hal yang terakhir dilakukan," ungkap Awi.

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin ikut mengomentari adanya Surat Telegram Kapolri yang memerintahkan jajaran kepolisian untuk secara tegas tidak memberikan izin unjuk rasa dan kegiatan yang menimbulkan keramaian massa. Menurut Azis, apa yang diperintahkan Kapolri di dalam Surat Telegram tersebut telah sesuai aturan.

"Ya maklumat Polri kan sudah keluar, tentu sesuai mekanisme, sesuai aturan," kata Azis di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/10).

Pengadangan dan pencegahan buruh berangkat ke Jakarta telah berlangsung sejak kemarin hingga hari ini, contohnya di kawasan industri Bekasi dan Tangerang. Pada Selasa (6/10), pihak Polres Metro Tangerang Kota pun memastikan pihaknya tidak akan mengizinkan buruh di wilayah Kota Tangerang, Banten untuk bergerak ke Jakarta.

Pihaknya melakukan upaya penyekatan di sejumlah titik agar para buruh tidak masuk ke Ibu Kota untuk melakukan aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja Ombnibus Law.

"Kami pastikan tidak ada massa buruh yang akan berangkat ke Jakarta," ujar Kapolres Metro Tangerang Kota, Komisaris Besar Polisi Sugeng Hariyanto kepada wartawan, Selasa, (6/10).

Sugeng mengatakan, penyekatan di beberapa titik dilakukan terhadap massa buruh. Di antaranya dilakukan di wilayah Batuceper, Kreo, Ciledug, dan perbatasan antara Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

"Penyekatan kami lakukan di berbagai wilayah hukum kami," ungkapnya.

Sementara di arah Bitung, lanjutnya, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Polres Tangerang Selatan untuk melakukan pengamanan dan penyekatan.   Adapun, terkait dengan adanya aktivitas sweeping yang dilakukan para buruh ke pabrik-pabrik, Sugeng mengatakan hal tersebut tidak ada. Menurut penuturannya, massa buruh hanya melakukan sosialisasi mengenai penolakan terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law.

"Mereka hanya sosialisasi saja," tegasnya.

Penyekatan juga terjadi di Jakarta. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus menyatakan, untuk mencegah terjadinya demonstrasi di Jakarta, pihaknya melakukan melakukan penyekatan di beberapa titik keberangkatan buruh dari luar menuju Jakarta. Sebanyak 9.236 personel gabungan dari TNI-Polri, dan pemerintah setempat pun disiagakan guna mengantisipasi unjuk rasa para buruh menolak UU Cipta Kerja.

"Kesiapan kami tetap mengantisipasi, Polda Metro Jaya bersama TNI dan juga pemerintah provinsi dalam hal ini Satpol PP kita sudah siapkan petugas di situ. Kami mengamankan tempat yang menjadi jalurnya titik yang krusial," tegas Yusri di Kompleks Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (6/10).

Oleh karena itu, Yusri menghimbau agar tidak ada massa yang menggelar aksi demontrasi. Apalagi saat ini masih dalam masa pandemi Covid-19 dan angka kasus positif pun belum menunjukkan bakal melandai.

Maka dikhawatirkan demo yang dilakukan akan membuat klaster baru. Mengingat kegiatan demonstrasi berpotensi mengabaikan protokol kesehatan.

"Tidak usah turun, tidak usah berkumpul ramai dan mari taati aturan peraturan kesehatan yang ada salah satunya adalah menghindari kerumunan karena ini bisa membuat klaster baru lagi nantinya," tutur Yusri.

In Picture: Aksi Buruh Blokir Jalan di Kabupaten Bandung

photo
Ratusan buruh memblokir jalan nasional Bandung-Garut--Tasikmalaya saat melakukan aksi di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Aksi tersebut merupakan buntut dari penolakan buruh terhadap pengesahan UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR. - (ANTARA/Raisan Al Farisi)

Demo besar 8 Oktober

Setelah memulai aksi mogok kerja sejak Selasa (6/10), sejumlah buruh di kawasan Tangerang, Provinsi Banten akan dilanjutkan hari ini. Ketua Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi Banten, Dedi Sudrajat menuturkan, apabila aspirasi mereka tetap tidak didengar dan diterima oleh pihak pemerintah maupun DPR RI, pihaknya akan melakukan aksi besar-besaran pada Kamis (8/10).

“Kalau (aksi) tanggal 6 dan 7 (Oktober 2020) tidak didengar, maka tanggal 8 (Oktober 2020) kita akan aksi ke Istana Negara. Dan itu besar-besaran sudah pasti,” kata Dedi kepada Republika, Selasa (6/10).

Dedi menjelaskan, masih ada cara yang bisa diperjuangkan oleh para buruh meskipun saat ini Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law sudah disahkan oleh DPR RI. Caranya adalah dengan mendorong Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu.

Kan sudah diparipurnakan, maka celahnya adalah pemerintah mengeluarkan Perpu untuk menunda pelaksanaan omnibus law tersebut,” jelas Dedi.

Dedi menegaskan, para buruh akan terus bergerak dalam memperjuangkan hak-hak mereka dengan cara-cara yang memungkinkan untuk bisa diperjuangkan. Tuntutannya jelas, yakni meminta Omnibus Law UU Cipta Kerja dibatalkan.

Diketahui, pada hari ini, Selasa (6/10), para buruh di Provinsi Banten menggelar aksi mogok kerja. Agenda inti dari aksi tersebut tidak lain adalah berhentinya aktivitas produksi di sejumlah pabrik.

“Seluruh anggota kita yang ada di pabrik mematikan (aktivitas) produksi atau setop mesin,” kata Dedi.

Aksi tersebut berlangsung selama 10 jam, yakni sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Adapun, titik-titik lokasi aksi, kata Dedi, adalah di seluruh pabrik se-Provinsi Banten. Salah satu yang terbanyak adalah di Kota Tangerang yang memang merupakan kawasan industri dengan jumlah pabrik mencapai ribuan.

“Lokasi aksinya di pabrik masing-masing. Jumlah industrinya kalau di Kota Tangerang kan hampir 2.500 lebih pabrik,” terangnya.

Berbicara terpisah Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengkritisi UU Cipta Kerja yang dinilai hasilnya buruk dan jauh dari harapan. Ia juga menjawab pernyataan DPR dan pemerintah yang mengklaim bahwa undang-undang tersebut dibahas secara transparan.

"Transparan ketika diskusi di drafnya tapi di keputusan dan ketika menteri menyerahkan perubahan kita tidak diberitahu," ungkapnya.

KSBSI berencana akan menggelar aksi tanggal 12-14 Oktober 2020 mendatang. Pihaknya juga mengaku tengah mempersiapkan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Elly juga merespons adanya Surat Telegram Kapolri yang melarang massa menggelar aksi unjuk rasa. Seharusnya polisi tidak berlebihan dengan mengeluarkan maklumat tersebut.

"Iya, jangan intimidatif," tegasnya.

In Picture: Demo Mahasiswa Tolak UU Ciptakerja di Gedung DPRD Jabar

photo
Sejumlah aktivis dan mahasiswa dari berbagai universitas berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (6/10). Dalam unjuk rasa tersebut mereka menolak Omnibus Law dan pengesahan UU Cipta Kerja. Foto: Abdan Syakura/Republika - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement