REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori dengan tegas menentang pengesahan RUU Cipta Kerja. Menurutnya, pembahasan regulasi sapu jagat perlu dilakukan lebih lama, cermat, dan komprehensif.
Sebab, draf awal RUU ini setebal 1028 halaman yang berisi 174 pasal beserta turunannya. RUU ini berdampak pada sekitar 74 undang-undang eksisting dan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
“Mereka bekerja tanpa jeda, pembahasan berlangsung hampir seharian penuh. Bahkan di hari Jumat sampai Minggu mereka tetap bekerja untuk segera merampungkan RUU tersebut,” ujar Bukhori lewat keterangan tertulisnya, Selasa (6/10).
Pembahasan yang terkesan dikebut ini, juga berdampak kepada para Tenaga Ahli (TA) DPR. Berdampak pada terbatasnya waktu yang memadai untuk menyusun RUU Cipta secara baik dan optimal.
"Sehingga membuka ruang bagi potensi terjadinya misleading dan dismiss dari sejumlah kesepakatan formulasi pasal per pasal yang diperoleh dari kesepakatan panja," ujar Bukhori.
Alhasil, regulasi ini berpotensi menimbulkan malpraktik di kemudian hari, ketika undang-undang tersebut diimplimentasikan. Dampak dari tuntutan waktu yang sangat singkat ini.
"Ini jelas tidak memberikan ruang memadai bagi fraksi-fraksi lain untuk mengkaji secara cermat terhadap setiap detil pasal yang ada dalam RUU ini. Padahal, RUU ini akan memberikan dampak yang signifikan di setiap lini kehidupan masyarakat," ujar Bukhori.
Melihat hal ini, Fraksi PKS tegas menolak pengesahan RUU Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang. Sebab, terdapat sejumlah pasal krusial yang memerlukan pendalaman yang cermat, mengingat adanya irisan antara satu pasal dengan pasal yang lain.
Misalnya, terkait perizinan berusaha, pengelolaan sumber daya alam (SDA), hingga ketenagakerjaan. Kesalahan langkah dalam merumuskan karena sikap ketergesaan ini, dinilainya akan mengakibatkan kerugian besar bagi rakyat di kemudian hari.
“RUU Cipta Kerja gagal membaca situasi kebutuhan bangsa saat ini. Terakhir, RUU Cipta Kerja membuka ruang bagi ancaman terhadap kedaulatan bangsa, potensi perusakan alam, dan sentralisasi kekuasaan di pemerintah pusat,” ujar Bukhori.