REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, adanya sejumlah perubahan dan penyesuaian kebijakan dalam penanganan Covid-19, bukan berarti pemerintah mencla-mencle. Jokowi menegaskan, hal itu dilakukan agar kebijakan yang diambil tepat sasaran, baik dari sisi penanganan kesehatan maupun pemulihan ekonomi.
Salah satu penyesuaian terbaru yang diambil Jokowi adalah opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dianggap masih banyak kekurangan. Bila dulu pemerintah pusat mengandalkan PSBB sebagai senjata untuk menekan penularan, kini Jokowi lebih memilih pembatasan sosial berskala mikro atau mini lockdown.
Kebijakan pembatasan sosial berskala mikro ini sebenarnya sudah disebut-sebut Jokowi sejak Juni lalu. Saat mulai aktif melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah dengan kasus Covid-19 tertinggi, Jokowi berkali-kali mengingatkan pentingnya intervensi lokal. Intervensi lokal ini bisa dalam skala kecil seperti desa atau kelurahan yang memiliki kasus positif Covid-19 di areanya.
"Penyesuaian kebijakan itu jangan dianggap pemerintah mencla mencle. Covid-19 ini masalah baru, belum ada negara yang berani mengklaim sudah menemukan solusi yang terbaik. Tiap negara juga beda-beda masalahnya, berbeda cara dalam menanganinya. Jadi kita pun harus terus menyesuaikan diri mencari cara terbaik yang paling cocok dengan situasi kita," ujar Jokowi dalam pernyataan yang diunggah di media sosial, Sabtu (3/10).
Menurut Jokowi, pencapaian Indonesia dalam penanganan Covid-19 selama tujuh bulan ini tidak buruk. Jokowi mengklaim ada perbaikan dari sisi angka kesembuhan yang terus meningkat setiap bulan. Selain itu, kontraksi ekonomi yang dialami Indonesia tidak sedalam negara-negara ekonomi besar lainnya.
"Sekali lagi pencapaian kita sejauh ini tidak buruk. Angka-angkanya jelas. Tapi jangan membuat kita terlena. Kita harus waspada, kita harus tetap bekerja keras. Wabah ini jangan diremehkan. Ini realita. Tapi jangan membuat kita pesimistis," kata Jokowi.
Jokowi merujuk pada data angka kesembuhan pasien Covid-19 nasional yang terus meningkat dari bulan ke bulan. Di awal pandemi, tepatnya pada Maret 2020, rata-rata kesembuhan hanya 3,84 persen. Namun seiring dengan meluasnya testing, tracing, dan treatment, angka kesembuhannya terus naik.
Pada April tingkat kesembuhan pasien Covid-19 di Indonesia naik menjadi 9,79 persen. Mei naik jadi 21,97 persen, Juni 37,19 persen, Juli 49,40 persen, Agustus 67,04 persen, dan September 72,28 persen. Bahkan per 2 Oktober 2020 tingkat kesembuhan nasional mencapai 74,9 persen. Angka ini sudah melampaui angka kesembuhan dunia, 74,43 persen.
"Maka saya hanya bicara fakta. Dalam jumlah kasus dan jumlah kematian, Indonesia jauh lebih baik ketimbang negara lain dengan jumlah penduduk yang besar," kata Jokowi.
Sementara kalau dilihat dari jumlah kasusnya, Jokowi menampilkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-23 di antara negara-negara dunia. Angka kumulatif kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 295.499 orang. Sementara di posisi pertama adalah Amerika Serikat dengan 7,49 juta kasus Covid-19. Kemudian menyusul India dengan 6,39 juta kasus dan Brazil dengan 4,8 juta kasus.
Untuk angka kematian, Indonesia juga berada di peringkat ke-23 dunia dengan 10.972 orang meninggal dunia. Peringkat pertama diduduki AS dengan 212.665 kasus kematian, Brazil dengan 144.767 kasus kematian, dan India denga 99.833 kasus kematian.
"Sebaiknya kalau membandingkan ya seperti itu. Kalau Indonesia dibandingkan dengan negara-negara kecil yang penduduknya sedikit tentu perbandingan seperti itu tidak bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya," kata Jokowi.
Padahal kalau dilihat langsung pada grafik penambahan kasus harian, Indonesia sama sekali belum menunjukkan tren penurunan. Berdasarkan data yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19, angka penambahan kasus harian terus menanjak. Bahkan Indonesia sudah masuk tren kasus harian di atas 4.000 orang per hari.
Sedangkan Amerika Serikat misalnya, mulai menunjukkan tren penurunan kasus harian sejak Agustus lalu. AS juga sanggup melakukan tes dengan rasio 333.407 tes per 1 juta penduduk. Angka ini jauh di atas kemampuan tes Indonesia yakni 12.584 tes per 1 juta penduduk.
Kalau dibandingkan dengan negara lainnya, kemampuan tes Indonesia memang jauh tertinggal. India misalnya, mampu melakukan 56.271 tes per 1 juta penduduk. Kemudian Brazil, mampu melakukan 84.057 tes per 1 juta penduduk. Perlu diingat, baik AS, India, dan Brazil, sama-sama memiliki populasi penduduk di atas 200 juta orang. Sama halnya dengan Indonesia yang memiliki jumlah penduduk 274 juta orang.