Kamis 01 Oct 2020 14:47 WIB

Pengurangan Hukuman Koruptor Timbulkan Asumsi Buruk Publik

Pengurangan kukuman koruptor buat kerja KPK dan penegak hukum seperti sia-sia.

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (kanan) menjadi salah satu terdakwa koruptor yang menerima pengurangan masa hukum dari MA. Pengurangan masa hukum yang dikabulkan MA bagi sejumlah koruptor membuat publik kehilangan kepercayaan pada hukum di Indonesia.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (kanan) menjadi salah satu terdakwa koruptor yang menerima pengurangan masa hukum dari MA. Pengurangan masa hukum yang dikabulkan MA bagi sejumlah koruptor membuat publik kehilangan kepercayaan pada hukum di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Dian Fath Risalah, Antara

Pengurangan masa hukuman bagi koruptor yang dikabulkan Mahkamah Agung (MA) dapat makin mengurangi kepercayaan publik pada penegakan hukum di Tanah Air. Praktik pengurangan hukuman pada koruptor hanya menimbulkan asumsi buruk pada penegakan hukum.

Baca Juga

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Gandjar Laksono menyampaikan pendekatan utama yang dibahas ialah apa yang menjadi pertimbangan hakim ketika mengurangi (atau menambah) hukuman. Menurutnya selama ini disparitas pidana sudah cukup tajam.

"Disparitas yang tinggi, terlebih kecenderungan mengurangi hukuman koruptor akan berujung pada ketidakpercayaan publik pada lembaga pengadilan bahkan hukum," kata Gandjar pada Republika.co.id, Kamis (1/10).

Gandjar menyebut hakim seakan tidak punya kesamaan pandang atas suatu kejahatan. Hakim diakuinya memang independen, tapi masyarakat lebih ingin melihat adanya kesetaraan cara pandang di hadapan hukum.

"Pengurangan pidana koruptor menguatkan kecurigaan masyarakat bahwa ada yang salah dengan dunia peradilan dan ada indikasi main mata dengan aparat penegak hukum terutama hakim," ujar Gandjar.

Gandjar juga menyayangkan tak transparannya MA dibanding lembaga peradilan lain. Hal ini menambah preseden buruk terhadap kinerja MA dalam menegakkan hukum bagi koruptor.

"Proses pengambilan keputusan di MA/kasasi ataupun PK tidak cukup transparan setidaknya dibanding proses pengadilan tingkat pertama yang digelar terbuka untuk umum," ucap Gandjar.

MA kembali mengabulkan PK dan memangkas masa hukuman dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto yang terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Hukuman penjara Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman berkurang dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara berdasarkan putusan PK tersebut. Sementara mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil, Sugiharto dipangkas dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 10 tahun penjara.

Pertimbangan Majelis Hakim tingkat PK mengurangi hukuman keduanya, lantaran Irman dan Sugiharto telah ditetapkan oleh KPK sebagai justice collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tertanggal 12 Juni 2017.

Sebelum Irman dan Sugiharto, MA juga telah memotong masa hukuman kepada 20 terpidana kasus korupsi lainnya. Pengurangan hukuman itu mereka dapatkan melalui putusan PK sepanjang 2019 hingga 2020.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan demi putusan PK yang dijatuhkan MA sudah terang benderang telah meruntuhkan sekaligus mengubur rasa keadilan masyarakat sebagai pihak paling terdampak praktik korupsi. Terbaru, MA mengabulkan PK mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Hukuman pidana Anas disunat dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara. Dalam putusannya, Majelis PK MA berpendapat alasan Anas mengajukan PK lantaran adanya kekhilafan hakim dapat dibenarkan.

Menurut ICW, setidaknya ada dua implikasi serius yang timbul akibat putusan PK tersebut. Pertama, pemberian efek jera akan semakin menjauh.

"Kedua, kinerja penegak hukum, dalam hal ini KPK, akan menjadi sia-sia saja, " kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Untuk itu, lanjut Kurnia, ICW menuntut agar Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin  mengevaluasi penempatan hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi. Sementara KPK, sambung Kurnia, juga harus mengawasi persidangan-persidangan PK di masa mendatang.

"Komisi Yudisial juga diharapkan untuk turut aktif terlibat melihat potensi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Hakim yang menyidangkan PK perkara korupsi, " ujar Kurnia.

Kurnia menambahkan, tren vonis ICW tahun 2019 menunjukkan bahwa rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Oleh karenanya, sejak awal ICW  sudah meragukan keberpihakan MA dalam pemberantasan korupsi.

"Jadi, bagaimana Indonesia bisa bebas dari korupsi jika lembaga kekuasaan kehakiman saja masih menghukum ringan para koruptor?," ucap Kurnia.

Sepanjang 2019-2020 sudah 23 perkara yang mendapatkan pengurangan hukuman atas pengabulan PK di tingkat MA. Saat ini setidaknya masih ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para narapidana kasus korupsi.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menyatakan biar masyarakat yang menilai atas putusan PK MA yang memotong vonis Anas. "Yang pasti KPK telah melaksanakan tugas dan pekerjaannya, biar masyarakat saja yang menilai makna rasa keadilan dan semangat pemberantasan korupsi dalam putusan-putusan Peninjauan Kembali tersebut," kata Nawawi dalam keterangannya.

Nawawi pun mengharapkan agar MA dapat segera mengirimkan ke lembaganya salinan putusan lengkap dari perkara-perkara tersebut. "Hal yang diharapkan dari Mahkamah Agung sekarang ini hanya lah agar salinan-salinan putusan dari perkara-perkara tersebut bisa segara diperoleh KPK. PK kan adalah upaya hukum luar biasa, tak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan KPK," ucap Nawawi.

MA memotong vonis Anas dalam perkara penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah menjadi 8 tahun penjara. "Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh pemohon/terpidana Anas Urbaningrum pada Rabu, 30 September 2020 telah diputus oleh Mahkamah Agung (MA). Hakim Agung PK, alasan permohonan PK pemohon/terpidana yang didasarkan pada adanya 'kekhilafan hakim' dapat dibenarkan," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro.

Pada tingkat pertama, Anas divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS.

Sedangkan pada tingkat banding, Anas mendapat keringanan hukuman menjadi 7 tahun penjara namun KPK mengajukan kasasi terhadap putusan itu sehingga Mahkamah Agung memperberat Anas menjadi 14 tahun penjara ditambah denda Rp 5 miliar subsidair 1 tahun 4 bulan kurungan dan ditambah membayar uang pengganti Rp 57,59 miliar subsider 4 tahun kurungan dan masih ditambah hukuman pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.

photo
Tren vonis ringan terdakwa korupsi pada 2019 - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement