REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan agraria seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi salah satu persoalan pelik bagi transmigran mengembangkan ekonomi di daerah. Hal itu disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar saat menghadiri Rapat Fasilitasi Percepatan Penyelesaian Permasalahan Tanah Transmigrasi Tahun 2020, secara virtual pada Selasa (29/9).
Mendes PDTT Abdul Halim yang ikut dalam Rapat Lintas Sektor yang diikuti Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDTT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mengungkapkan persoalan para transmigran di daerah yang terkendala soal agraria dan kepemilikan lahan.
Ia mengatakan, masyarakat Transmigran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian berhak mendapatkan hak normatif berupa Lahan Pekarangan dan Lahan Usaha dengan status Hak Milik. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dimana pemerintah wajib memberikan kepastian hukum bagi kepemilikan tanah dengan memberikan Sertifikat Tanah bagi seluruh rakyat di seluruh wilayah Republik Indonesia. Langkah ini menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui reforma agraria.
"Dalam sektor pertanahan, Presiden Joko Widodo telah meminta agar pelaksanaan Reforma Agraria dipercepat, terutama terkait dengan penerbitan Sertifikat Tanah dan penyelesaian permasalahan agraria. Untuk itu, kehadiran Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) diharapkan dapat menggenjot pelaksanaan Reforma Agraria di lapangan," kata Gus Menteri, sapaan akrabnya.
Tugas GTRA ini antara lain mengkoordinasikan dan memfasilitasi penanganan sengketa dan Konflik Agraria. Gus Menteri memuji keseriusan dan kesungguhan kinerja GTRA Pusat yang hingga saat ini telah melaksanakan lima kali Rapat Koordinasi (Rakor) dalam rangka mengkoordinasikan upaya penanganan sengketa dan konflik agraria.
"Di bidang transmigrasi, langkah pertama dalam pelaksanaan program kerja GTRA tahun ini fokus pada 7 Provinsi yang diprioritaskan penyelesaiannya," terangnya.
Mantan Ketua DPRD Jawa Timur ini mengatakan, kasus pertanahan yang terjadi di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan hingga kini bisa dibilang belum ditemukan metode penyelesaian yang efektif, dalam arti tidak merugikan pihak yang bersengketa.
"Maraknya kasus pertanahan mengindikasikan belum optimalnya pelaksanaan sistem pengelolaan pertanahan serta menghambat program-program pembangunan yang sedang berjalan," kata dia.
Peningkatan jumlah kasus pertanahan tentu menjadi perhatian penting untuk dicarikan jalan keluar sehingga tanah dapat dikelola dan dimanfaatkan sebagai aset yang dapat memberikan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
"Beban penyelesaian kasus pertanahan transmigrasi hingga saat ini mencapai 319 Kasus, yang tersebar di 275 lokasi permukiman transmigrasi/eks permukiman transmigrasi, pada 121 Kabupaten di 28 Provinsi," kata Doktor Honoris Causa dari UNY ini.
Diantara permasalahannya adalah terhambatnya penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan transmigrasi karena belum terbitnya SK HPL (Hak Pengelolaan) yang menjadi persyaratan pengurusan penerbitan Sertipikat. Namun saat ini, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 sudah ada terobosan baru.
Dimana presiden memberikan solusi penerbitan sertifikat bagi lokasi-lokasi eks transmigrasi yang sudah diserahkan pembinaannya kepada Pemerintah Daerah melalui Program PTSL. Sementara untuk lokasi transmigrasi yang masuk ke dalam kawasan hutan perlu dilakukan pelepasan dari kawasan hutan terlebih dahulu.
Beban penerbitan SHM di lokasi transmigrasi saat ini mencapai 368.545 bidang. Pada akhir Agustus 2020, realisasi penerbitan SHM mencapai 160.102 bidang. Diakui Mendes PDTT permasalahan belum terbitnya Sertipikat Hak Milik (SHM) bagi para transmigran di lokasi transmigrasi seringkali menimbulkan permasalahan agraria.
"Seperti adanya okupasi lahan transmigran oleh masyarakat lokal, tumpah tindih lahan transmigrasi dengan HGU Perusahaan, tumpang tindih lahan transmigrasi dengan Kawasan Hutan, dan sebagainya," paparnya.
Adanya permasalahan pertanahan tersebut menyebabkan para transmigran mengalami kesulitan dalam mengembangkan usaha ekonomi mereka yang berimbas pada buruknya taraf hidup mereka. Kondisi ini sungguh memprihatinkan karena tujuan transmigrasi untuk menyejahterakan masyarakat menjadi tidak tercapai maksimal.
"Saya mengharapkan dukungan Kementerian ATR/BPN, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian LHK bersama-sama dengan jajaran Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi untuk melakukan percepatan penyelesaian permasalahan pertanahan dengan memberikan arahan kepada para jajarannya di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten," ujar politikus PKB ini.
Turut hadir dalam Rakor ini Wakil Menteri ATR Surya Tjandra, Dirjen Pengembangan Kawasan Transmigrasi HM Nurdin, Dirjen Penyiapan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Harry Pamudiono dan pejabat di Kemendes PDTT, Kementerian ATR dan Kemendagri.